31. Istikharah, Lagi

1 1 0
                                    

Usai berwudu Amran langsung menggelar sajadahnya. Mengganti pakaiannya dengan pakaian khusus salat yang ia sediakan untuk hari ini.

Bunda yang ajarkan.

Jika Filza diajarkan untuk mengganti mukena setidaknya empat hari sekali, sedangkan Amran sehari sekali. Menyediakan satu buah baju yang khusus ia pakai salat ketika di rumah, namun lain kata jika berjemaah, tentu akan diganti tiap kali berangkat.

Si bujang segera menggelar sajadahnya. Mengambil sebuah kopiah hitam dari lemarinya.

Amran butuh bersujud untuk semua urusan ini.

Dirinya menolak, entah enggan karena tak ingin atau karena rasa takut. Namun di lubuk hatinya malah berkata bahwa ia harus mewujudkan harapan Bunda.

Ya. Benar. Bunda pasti akan dapat melihat gadis bakal calon menantunya. Namun, tidak ada yang tahu bisa dilihat di alam ini, atau di sana.

Amran tak ingin menyesal atas permintaan Bunda, pun, tak ingin kalap mengambil keputusan.

"Allaahu akbar."

Amran salat istikharah.

Laki-laki itu sungguh khusyuk pada ibadahnya. Bermunajat. Melantunkan ayat dan doa-doa bacaan dengan baik. Menenggelamkan diri pada satu titik fokus.

Hingga salam ia ucapkan. Si bujang tak langsung bangkit dari duduknya. Ia lanjut berzikir.

Air mata pun turun tanpa aba-aba.

Amran seketika terbawa arus pada kejadian masa lalu itu. Lagi. Pada seseorang yang pertama kali membuatnya melakukan istikharah untuk petunjuk jodoh. Waktu itu. Seorang gadis asing yang pertama kali membuatnya berani menyebut nama gadis itu dengan yakin.

Kini? Amran pun kembali melakukannya. Namun bedanya, kali ini tak ada nama spesifik yang Amran pinta. Amran hanya berserah. Berharap rahasia jodoh dari Tuhan bisa sedikit terbongkar dan memberinya petunjuk.

Amran mengusap pipinya yang basah. Ia tadahkan tangan. Meminta pada Yang Maha Mengabulkan.

"Allahumma inni astakhiruka bi ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta'lamu wa laa 'alamu, wa anta 'allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta'lamu hadzal amran khairan lii fii aajili amrii wa aajilih aw fii diinii wa maaasyi wa aqibati amrii faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta talamu annahu syarrun lii fii diini wa maaasyi wa aqibati amrii fii aajili amri wa aajilih fash-rifnii anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih."

"Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu dan aku mohon kekuasaan-Mu untuk mengatasi persoalanku dengan kemahakuasaan-Mu. Aku mohon sesuatu kepada-Mu dari anugerah-Mu Yang Maha Agung. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya, dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang gaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan mencari jodoh dan pernikahan itu lebih baik dalam agamaku dan akibatnya terhadap diriku di dunia atau akhirat, maka sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian, dan akibatnya kepada diriku maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkan aku darinya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku."

~~~

Muhammad Amran bin Daud.

Laki-laki itu menunaikan sakat istikharah di setiap malam. Di malam setelah salat isya atau sebelum akan tidur, lalu di waktu itu menunaikan tahajud.

Sudah seminggu lebih ia rutin dengan amalan ibadahnya tersebut. Hingga ia sadar, bahwa perlahan petunjuk yang diharapkan mulai bermunculan.

Kata orang-orang. Petunjuk dari istikharah itu muncul dari mimpi. Mungkin memang mayoritasnya mengalami demikian, namun, pertanda tidak hanya bisa datang dari indikator mimpi saja. Bisa dari unjuk rasa di hati, kecondongan pilihan, atau hal-hal lainnya.

Amran merasakan beberapa pertanda tersebut. Mulai dari mimpi yang muncul sejak tiga malam belakangan, pun, hati dan pikirannya yang tiba-tiba merasa yakin pada sebelah sisi dari perkara ini.

"Apakah aku akan mampu melakukan pernikahan?"

Bohong jika Amran sudah yakin dengan dirinya sendiri. Ia tentu akan sangat yakin pada kehendak-Nya, namun, hingga saat ini ia masih bimbang tak yakin pada dirinya.

Amran terlalu takut.

"Assalamu'alaikum, Filza."

Amran sontak melirik ke asal suara tersebut, terdengar dari pintu depan. Ia bisa mendengar jelas dari ruang keluarga yang ada di sebelah ruang tamu. Amran sedang bersantai baca buku di sana, walau, fokusnya bahkan tak menyentuh sedikit pun isi tulisan buku tersebut.

"Suaranya gak asing."

Segera ia tutup dan letakkan bukunya. Lalu bangun untuk membukakan pintu.

"Wa'alaikumussalam."

"Eh? Bang Amran. Siang, Bang."

Amran kaku saat mendapat sapaan tersebut tepat setelah pintu dibuka.

"Aisyah, cari siapa?"

"Filza, Bang. Tadi kami janjian mau makan bakso di luar."

Gadis itu tersenyum ramah pada lawan bicaranya. Santai. Tak ada beban. Sangat berbeda dengan canggung kikuk saat pertama kali mereka bertemu di teras rumah waktu itu dan saat tak sengaja bertemu di toko buku dan berakhir makan bersama di warung bakso.

"Oh, Ada. Filza ada di dalam. Mari, masuk dulu."

Amran masuk duluan, yang langsung disusul Aisyah di belakang.

"Dek, Aisyah dateng, nih," panggilnya dari depan pintu kamar Filza yang tertutup rapat. Kamar tersebut ada di sebelah ruang keluarga.

"Iya, Bang. Adek belum selesai nih, lagi pakai jilbab. Tolong bilangin ke Aisyah untuk nungguin, ya, Bang," sahut Filza. Sepertinya ia tak berniat membukakan pintu untuk abangnya.

"Cepatlah, Dek! Kasian temennya nungguin itu!"

"Iya bentar! Ini hampir selesai kok. Atau, tolong deh, Abang temani Aisyah ngobrol dulu sambil nunggu Adek."

Huh. Gampang sekali ia bicara.

Amran malas meladeni lagi. Ia tahu betul bagaimana adiknya yang serba lama itu. Filza bisa cekatan dalam banyak hal, tapi tidak dengan berpakaian.

Tak mau hirau. Amran pun segera meninggalkan pintu kamar adiknya yang masih terkunci. Kemudian pergi menuju ke arah dapur untuk mengambil segelas minuman untuk teman adiknya di depan.

"Aisyah," panggil Amran saat ia kembali ke ruang tamu. Tempat di mana Aisyah sedang duduk menunggu.

Amran meletakkan gelas di tangannya ke atas meja.

"Ini, silakan minum dulu tehnya."

"Aduh, maaf, Bang. Aisyah jadi ngerepotin, nih." Mulutnya berkata demikian, tapi tangannya malah buru-buru meraih gelas tersebut dan menyeruput minuman tersebut.

Sungguh tak sinkron.

"Duduk-duduk aja dulu. Itu Filza masih pakai jilbab katanya. Mungkin masih lama, tuh, selesainya."

"Oh, oke. Santai aja, Bang. Filza gak akan busa diburu-buru apalagi soal berpakaian. Yang ada makin lama tuh, hahaha."

Amran mengangguk. Matanya tak lepas dari lawan bicaranya yang ada di sofa seberang.

"And, how about's you?"

"Hah?"

Mawar LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang