Udara sejuk menembus rongga. Menebar ke segala arah, memberi manfaat dari sejuknya secara adil, walau, mungkin hanya sepoi-sepoi di beberapa kawasan saja.
Langit biru, cerah, tapi tidak terik. Namun matahari kini sudah tegak jauh di atas kepala. Denting jarum jam pun telah menunjukkan pukul 12.05 siang.
Seorang wanita paruh baya pun berdiri di ambang pintu, sambil menggenggam ponselnya di tangan. Ia menelisik ke segala arah, dari teras, halaman, hingga ke jerja gerbang. Berusaha melihat ke luar sana.
"Mereka pulang jam berapa, ya?" monolog wanita itu.
Ting.
Satu notifikasi muncul di ponsel yang sedang ia genggam. Membuatnya berhenti celingak-celinguk.
"Filza." Ia baca nama kotak pesan yang tertera. Cepat-cepat ia buka pesan tersebut.
"Bunda, Filza izin pulang sedikit telat, ya? Tadi waktu antrean makanan rame banget, jadi kelamaan deh. Mungkin karena hari minggu ya, Bun. Ini baru mau makan, abis jalan-jalan tadi. Filza pulang setelah shalat zuhur, ya, Bunda."
Sebenarnya tak perlu, tapi wanita paruh baya itu membaca pesan dari putrinya dengan suara agak lantang, seolah, ingin memberi tahu orang-orang akan isi pesannya.
"Oke, Nak. Hati-hati di jalan ya." ketiknya, membalas pesan sang putri kecil yang kini sudah mulai beranjak dewasa.
"Nak, mainnya sama Aisyah dan Erika kan?" Begitu isi kolom pesan selanjutnya.
Ting.
"Iya, Bunda. Sesuai gimana Filza izin sama Bunda dan Ayah. Kami cuma bertiga, Filza, Aisyah, dan Erika."
Wanita itu menghela napas. Walau ia yakin putrinya tak akan berbohong, tapi, sedikit bertanya untuk memastikan keadaan, setidaknya dapat membuatnya merasa lebih lega.
"Selamat senang-senang, ya, Nak." Balasan itu terkirim. Ia pun ikut karena putrinya sedang menikmati hari akhir pekan bersama teman-temannya.
"Assalamu'alaikum."
Suara itu sontak membuatnya mengangkat wajah, melihat sumber suara yang datang dari gerbang. Itu putranya, Amran, yang datang bersama gemuruh mesin sepeda motor.
"Wa'alaikumussalam, Nak," jawabnya.
Segaris senyum terbit. Ia menatap putranya yang sedang memarkirkan motor dalam bagasi.
"Bunda," lirih Amran, segera ia meraih tangan sang bunda untuk ia cium.
"Alhamdulillah sudah pulang Anak Bunda."
Amran tersenyum, lalu mulai melepas tali sepatunya.
"Nak, kok, cepat pulangnya? Katanya mau nongkrong sampai sore?"
"Oh, itu, Bun." Ia simpan dulu sepatu yanh sudah terlepas itu ke rak. "Gapapa, sih, Bun. Pulang cepet aja."
"Iya, kenapa? Biasanya, tuh, seru banget kalo udah nongkrong sama Zaki dan Farhan."
Ibu dan anak itu pun melangkah beriringan, menuju bangku kayu di teras.
"Mungkin tahap pendewasaan, kali, ya, Bun. Kami udah gak sanggup main lama-lama gitu. Umur segini, ya, udah pada sibuk sama kerjaan masing-masing, waktu ketemu untuk saling tukar cerita yang gak dibagikan dalam grup pesan aja."
Bunda pun mengernyit. Menatap putranya dengan tatapan yang tak mudah ditafsirkan.
"Bunda?" Amran pun sadar dengan tatapan itu. "Kenapa, lihat Amran begitu?"
"Bunda akui, Nak, Amran memang selalu bisa berperilaku dan berpikir dewasa, tapi, kayaknya baru ini deh Bunda dengar dan lihat Amran mengakui usia?
Amran tahu akan ke mana arah pembicaraan ini. Ia diam saja dulu, menyimak ucapan Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Layu
Mystery / Thriller🥀🥀🥀 Malam itu terjadi begitu saja. Kecelakaan besar yang datang dengan ganas dan merampas nyawa perempuan yang selama ini Amran cintai dalam diam. Andai kecelakaan itu tidak terjadi, maka seharusnya besok adalah hari bahagia di mana ia akhirnya a...