24. |Anak Malang Itu Bernama Mahesa|

401 90 37
                                    

All We Need Just Heal》

Anak Malang Itu Bernama Mahesa

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■

"Aku harus kasih tau Abang dulu, Mi."

Mata bulat Mahesa yang tak ada binar sama sekali itu tengah menatap Murni penuh permohonan. Anak itu terus meminta agar diizinkan pulang. Pasalnya sudah dua hari ia pergi tanpa izin dari rumah. Walaupun pagi tadi, Bian sempat memberitahu Mahaka melalui pesan jika Mahesa sedang menginap di rumahnya.

Dua hari mendapatkan perawatan, dua hari pula Mahesa menjalankan berbagai macam prosedur pemeriksaan. Sampai berhasil ditarik kesimpulan. Mahesa didiagnosis mengidap kanker otak stadium 2. Di mana dokter menjelaskan bahwa tumor yang tumbuh masih berukuran kurang dari 7 cm dan belum menyebar ke jaringan di sekitarnya. Pun dengan hasil pemeriksaan urin dan lainnya yang menunjukan ada endapan keras berukuran kecil yang terdapat pada ginjal Mahesa. Menurut dokter, penyakit seperti ini tidak serta merta timbul tanpa gejala. Mahesa pasti sudah merasakannya sejak lama, namun ia pasti mengabaikan.

Dokter telah menyarankan serangkaian pengobatan yang bisa dijalani oleh Mahesa. Dari mulai kemoterapi, radiasi bahkan persiapan operasi. Namun, sejak tadi Mahesa menolak. Ia belum memutuskan. Belum mengiyakan segala macam hal yang dokter tawarkan. Alasannya hanya satu, ia mau Mahaka tahu terlebih dahulu. Ia mau Mahaka tetap menjalankan perannya sebagai satu-satunya keluarga yang masih tersisa dan bertindak sebagai walinya. Mahesa tak ingin ada yang menggantikan posisi itu. Bukan karena tidak menghargai, ia hanya ingin menuntut pertanggungjawaban Mahaka.

Bian yang sudah kepalang kesal dengan keras kepala sahabatnya memutuskan untuk keluar ruangan dengan sedikit bantingan. Sementara Esa, masih membujuk Murni dan Danang agar diizinkan pulang. Tidak ada respon berlebihan yang Mahesa tunjukkan sesaat setelah vonis dokter disampaikan. Air wajahnya tetap tenang. Tidak ada takut yang terpancar.

"Tapi setelah Abang tau, janji sama Umi, Esa mau kan pengobatan?"

Mahesa mengangguk ragu. Ia tidak yakin. Uang dari mana. Asuransi kesehatan tidak punya, pekerjaan juga sudah tidak ada. Esa merasa tampaknya menyusul Pramudia akan lebih baik baginya. Dunia terlalu menyeramkan dan Mahesa tidak suka.

Murni akhirnya luluh, ia mengusap kepala Esa penuh sayang. "Umi, Baba sama Bian bakal temenin terus. Nggak usah takut," kuatnya.

Lagi. Mahesa hanya mengangguk. Nyatanya tak lagi ada takut yang ia rasakan. Rasa takutnya sudah sirna. Tertinggal saat Pramudia pergi meninggalkannya. Mahesa merasa tidak ada hal yang harus ia takuti lagi di dunia.

Murni akhirnya memutuskan keluar kamar bersama Danang, meminta Bian untuk masuk. Mereka sengaja memberikan kesempatan agar Bian dan Mahesa dapat berbicara dari hati ke hati. Ia dan suami akan mengurus administrasi dan keperluan berkas untuk kepulangan Mahesa. Dokter memang sudah mengizinkan Mahesa pulang. Kondisinya sudah cukup baik. Mahesa hanya tinggal berobat jalan sembari melakukan prosedur pengobatannya.

"Mau ngapain?"

Mahesa berniat menggoda Bian yang masuk dengan raut kesal. Anak itu membuka pintu lemari pakaian dengan kasar. Mengeluarkan tas dengan sedikit bantingan. Memasukan baju-bajunya yang dua hari ini dipakai Mahesa.

"Mau pulang kan lo? Nih gue beresin biar puas!" sungutnya.

Mahesa tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya. Entah, sejak ia dirawat, Bian semakin mudah terpancing emosinya. Tidak sabaran dan cepat marah.

"Ikhlas nggak? Kalau nggak gue bisa kok beresin sendiri."

"Diem aja lah. Nggak usah banyak bacot."

"Mana ada orang sakit dikatain begitu. Kalau umi tau, mulut lo bisa dikaretin."

INTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang