Part 12

8.3K 774 90
                                    

Tandai typo!
____________________

"Bunda kenapa?" tanya Cavuer heran. Setelah kepulangan bunda nya itu dari mall, memang Anies terlihat murung tidak seperti biasanya. Sehingga itu membuat Cavuer heran begitupun suaminya Anies, Pramnas.

"Iya, kamu sebenarnya kenapa sayang?" timpal Pramnas.

Sore ini Cavuer dan Pramnas memang pulang cepat, sehingga sudah ada dirumah di jam segini.

Anies menghela nafas pelan, "Bunda lagi galau," sahutnya. Membuat Pramnas langsung melotot matanya.

"Maksud kamu apa sayang, kamu galauin siapa hah!" katanya menuntut, cemburu.

Mendengar itu Cavuer mendengus sinis.

"Sena," satu kata yang keluar dari Anies membuat Cavuer semakin penasaran.

"Sena kenapa Bun?"

"Wanita yang sebelumnya kamu ceritain itu, yang nolong kamu?" tanya Pramnas.

Anies mengangguk, "Iya, Bunda kecewa dia." ucapannya dengan wajah sendu.

"Yang lebih jelas istriku, memangnya wanita itu berbuat apa padamu?"

"Sena ternyata sudah menikah, dan sekarang aku gagal untuk menjadikannya menantu!" kata Anies memberitahu.

Deg

Cavuer yang mendengar itu mematung, ntah mengapa perasaan kecewa langsung muncul sendiri di hatinya. Seolah-olah dia tidak terima jika wanita itu sudah menikah, padahal Cavuer baru pertama kali bertemu dengan Sena.

"Bunda tau darimana, kalau Sena sudah menikah?"

"Mertuanya sendiri. Rosa mas, kamu ingat dia kan. Ternyata Sena menikah dengan anaknya Rosa." ujar Anies pada suaminya.

"Jadi tadi kamu bertemu dengan Rosa sayang?" tanyanya yang di angguki Anies.

"Iya, makanya aku tau kalau Sena yang ternyata sudah menikah" kesal Anies, yang masih kecewa.

Pramnas menghela nafas pelan, "sudahlah kalau memang seperti itu berarti Sena memang bukan jodoh Cavuer." kata Pramnas, kemudian ia menatap anaknya, "Kamu nggak ada perasaan padanya sama sekali kan son, bukankah kalian juga baru pertama kali bertemu. Jadi tidak apa-apa bukan kalau wanita itu sudah menikah?"

Cavuer mengangguk singkat mendengar itu, kemudian ia memilih pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Yang membuat Anies dan Pramnas menatap kepergian anaknya dengan heran.

***********

"Nevan, kamu mau mampir kan untuk menjelaskan semuanya yang terjadi hari ini?" ucap Markisa. Saat ini dirinya sudah berada di depan gedung apartemennya, karena Nevan yang mengantarkannya pulang.

Nevan melihat jam yang melingkar di tangannya, "Maaf aku harus segera pulang karena kedua orang tuaku berada di mansion!"

"Kenapa, kenapa kamu jahat seperti ini. Seharusnya kamu sekarang menjelaskan kepadaku!!" Pekik Markisa, menatap pria itu berkaca-kaca.

"Turunkan nada bicara mu itu Isa!! Apa kau tidak malu hah dilihat semua orang seperti ini," desis Nevan kesal, karena saat ini mereka berdua menjadi pusat perhatian.

"Maaf."

"Sudahlah aku harus pulang, dan bukankah semuanya sudah jelas tentang semua yang kamu dengar." kata Nevan, kemudian ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Tak peduli saat melihat Markisa yang sudah terisak.

"Hiks, sial!"

"Mengapa seperti ini, aku memang sudah tau kalau dia mempunyai seorang istri. Namun yang aku mau harusnya dia bersikap membelaku dan takut kehilangan aku." gumam Markisa menggigit bibirnya khawatir.

"Bahkan saat aku menangis dia terlihat seperti biasa saja" desisnya, "Aku harus melakukan sesuatu, agar pria itu kembali bersikap semula seperti saat awal-awal mendekatiku." tekad Markisa.

************

Sena tersenyum manis menyapa para pelayan yang saat ini sedang membuat makanan untuk makan malam. Mereka semua kini membalas sapaan Sena dengan sopan, terlihat menghormati dirinya. Mungkin karena kehadiran mertuanya membuat mereka semua berubah seperti itu, pikir Sena.

"Apakah aku boleh membantu kalian memasak?" tanya Sena.

Fera yang saat itu juga sedang ikut memasak pun lantas menghampiri nona nya, "Tidak perlu nona, sebaiknya nona tunggu saja kami. Sebentar lagi juga kita semua selesai."

"Yah, sebaiknya kau di ruang makan saja, karena yang ada nanti malah kita kena omelan dari tuan dan nyonya besar. Jadi jangan mencari simpati, cukup seperti biasanya saja yang selalu berada di kamar. Tidak mau menampakkan wajahnya pada kita!" ketus Bi Rama menimpali. Ia yang sebagai kepala pelayan memang tugasnya hanya mengawasi para pelayan lainnya yang sedang memasak. Intinya status Bi Rama itu lebih tinggi dibandingkan pelayan lainnya.

"Bi Rama!! Seharusnya kau menghormati nona Senandung. Jaga ucapanmu itu!" sahut Fera kesal. Karena Bi Rama tidak pernah berubah, terlihat tidak suka pada nona nya ini.

Sena memegang lengan Fera dan mengelusnya dengan pelan. Seolah mengatakan tidak apa-apa. Lalu wanita itu menatap Bi Rama yang sedang bersedekap dada.

"Terimakasih Bibi, yang sudah melarangku untuk membantu. Aku anggap itu sebagai bentuk perhatian Bibi terhadapku." sahut Sena sembari tersenyum manis pada wanita paruh baya itu.

Walaupun dihatinya sangat dongkol, dan ingin rasanya ia menyobek mulut wanita tua itu, yang berani berkata sarkas padanya.

Mendengar itu Bi Rama melotot, "Jangan ge'er ya kamu, saya sama sekali tidak sudi untuk memperhatikanmu walaupun status kamu disini sebagai istrinya tuan muda."

"Karena disini kau tidak ada spesialnya sama sekali karena tuan muda tidak mengharapkan kehadiranmu ada, jadi buat apa saya susah-susah untuk memperhatikan mu atau menghormatimu!" lanjut Bi Rama sarkas.

Fera menutup mulutnya kaget.

Cairan bening tiba-tiba jatuh ke pipi Sena, mata gadis itu merah menahan tangisannya, "Yah, aku cukup sadar diri Bi, dan sekarang aku paham mengapa bibi dan yang lainnya tidak menghormatiku sebagai mana mestinya."

"Karena Hazra yang memperlakukan buruk, kalian juga mengikutinya. Ntah dosa apa yang telah aku perbuat, sudah kehilangan kedua orang tuaku sekarang ditambah lagi penghinaan dari kalian semua. Kalau begitu aku permisi," ucap Sena lembut, ia menghapus air matanya yang sudah jatuh.

Kaki Sena melangkah meninggalkan arah dapur, namun ia memilih berjalan sembari menunduk. Namun tangannya lebih dulu di cekal oleh seseorang.

Sena langsung mengangkat kepalanya, "Hazra?"

Nevan memang sedari tadi sudah mendengarkan percakapan antara Sena dan Bi Rama, pria itu sebenarnya kaget ketika mendengar ternyata semua para pekerja disini tidak menghormati Sena. Yang ia tau hanya dirinya lah yang memperlakukan Sena dengan buruk di waktu tertentu, selebihnya Nevan mengira jika Sena hidup dengan kelimpahan harta keluarganya. Dilayani oleh para pelayan dan juga selalu mendapatkan uang dari dirinya maupun kedua orang tuanya. Memang Nevan tak lupa selalu memberi uang Sena lewat Fera, karena bagaimanapun Sena sudah menjadi istrinya.

Oleh sebab itu mengapa diwaktu jiwa Sena berada disini, ia bisa memperbaiki fisik wanita ini. Dengan membeli beberapa barang serta baju yang pantas, dan beberapa alat make up maupun skincare.

Sedangkan Bi Rama tidak mengetahui kehadiran Nevan, karena posisinya ia membelakangi pria itu.

Itu alasan mengapa juga Fera menutup mulut kaget. Wanita itu sudah tau saat kehadiran tuannya disini.

"Maaf Hazra, aku mau ke kamar dulu!" ucap Sena sembari menatap teduh pria itu. Kemudian tangannya melepaskan paksa cekalan Nevan.

Sena meninggalkan Nevan yang terdiam. Wanita itu tersenyum miring.

Tidak perlu memakai emosi untuk membalas wanita tua itu. Bahkan dengan sikap lembutku ini saja mampu memberikan balasan untuknya - batin Sena tersenyum puas, dengan mata menyorot tajam di sela langkahnya.

"Nikmatilah hadiah pertamamu itu sebagai salam atas pembalasanku, wanita tua bodoh!!" gumam Sena menyeringai.

Bersambung.

_______________






SENANDUNG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang