Jangan lupa vote sebelum baca 💚
***
Kayla bukannya tidak menyadari perubahan sikap Marvel beberapa hari belakangan. Ia hanya sedang berusaha menampik isi pikirannya, yang menduga jika perubahan sikap Marvel terjadi karena dirinya.
Pria itu jadi lebih banyak diam dan tempramental. Sebagai asisten yang bekerja di ruangan yang sama dengan Marvel, Kayla adalah orang yang paling sering mendengar omelan Marvel untuk para karyawannya yang membuat kesalahan. Bahkan, kadang masalah kecil sekali pun tampak seperti sengaja di besar-besarkan. Seolah Marvel butuh sesuatu untuk meluapkan amarahnya yang tertahan.
Dan beberapa hari ini pula, Kayla hanya bisa berkali-kali menghela napas panjang melihat tingkah polah Marvel yang semakin hari semakin membuatnya pusing.
Tak cukup sampai di sana saja penderitaan Kayla. Hari ini, mereka juga akan mulai berangkat ke Bandung. Kayla baru saja selesai mengemasi barang-barangnya. Sebelumnya, Marvel sudah memberi tahunya jika mereka akan berangkat pukul setengah delapan malam. Pria itu juga menyuruh Kayla untuk mandi dan makan malam terlebih dahulu sebelum mereka berangkat.
Kayla menarik kopernya pada pukul setengah delapan tepat. Namun, ia belum melihat pemilik unit di sampingnya keluar. Ia pun berinisiatif untuk mengetuk pintu. Dan tak lama kemudian, pemilik unit itu membuka pintu dengan raut wajah datar andalannya selama beberapa hari terakhir.
Marvel melirik ke arah koper Kayla yang berukuran cukup besar. Sedangkan ia sendiri hanya membawa koper kecil, karena hanya berisi sekitar lima pasang baju, satu sepatu dan satu sandal santai.
“Ada yang salah, Pak?” tanya Kayla.
Marvel menaikkan pandangannya hingga tatapannya bertemu dengan manik cokelat khas orang Asia milik Kayla. Ia menggeleng. Kemudian, tanpa mengucap satu patah kata pun, Marvel segera menyeret kopernya menuju ke lift yang ada di lantai tempat tinggal mereka.
Kayla mengedikkan bahunya, tidak mau ambil pusing dengan sikap Marvel yang memang semakin aneh beberapa hari belakangan.
“Nanti kalau butuh apa-apa juga bakal ngomong sendiri,” pikir Kayla. Setelah itu, Kayla pun berjalan cepat untuk menyusul langkah Marvel yang sudah mendahuluinya.
Perjalanan selama lebih dari tiga jam dari Jakarta menuju Bandung mereka tempuh dengan keadaan yang sepi, meski jalanan di sekitar mereka cenderung macet. Keduanya kompak, betah saling diam meski sama-sama menahan rasa bosan.
Dua hari yang lalu, Marvel meminta Kayla untuk memesan kamar di sebuah hotel yang ada di Kota Bandung. Dan akhirnya mereka tiba di hotel itu menjelang tengah malam.
“Silakan, ada yang bisa saya bantu? Sebelumnya sudah reservasi, Pak, Bu?” tanya resepsionis hotel dengan sopan.
“Sudah. Atas nama Kayla,” jawab Kayla.
“Oh, satu kamar standard room dan satu suite room ya, Bu?” tanya resepsionis itu lagi.
“Iya, benar,” jawab Kayla.
Sementara itu, Marvel menyipitkan matanya. Ia merasa aneh dengan kamar yang Kayla pesan. Saat melihat resepsionis itu menyerahkan dua kartu akses pada Kayla, Marvel pun mendorongnya kembali, membuat Kayla menoleh kaget.
“Kamu pesan kamar di lantai yang berbeda?” tanya Marvel. Ia tahu, dua kelas kamar yang Kayla pesan memiliki lantai yang berbeda.
“Iya. Kan Bapak sendiri yang minta dipesankan tipe suite room,” balas Kayla.
“Lalu kamu ambil inisiatif buat pesan tipe lain supaya kita nggak satu lantai?”
“Bukan begit-”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Feeling
Chick-Lit"Kalau bukan gara-gara dare dari teman-temanku, aku juga nggak sudi kali ngejar-ngejar cowok muka tembok kayak kamu!" Kayla tidak sampai berpikir bahwa lelaki yang ia beri umpatan di hari terakhir liburannya itu ternyata adalah anak bosnya. Terlebi...