39. Cermin

63 15 0
                                    

HAL pertama yang Caspian lihat ketika membuka mata adalah langit-langit kamarnya yang tinggi. Cahaya biru pucat menembus jendela, menerangi sebagian titik ruangan yang suram lantaran lampunya belum menyala. Pria itu merintih menahan kepalanya yang berdenyut dan  berputar-putar. Dia mendorong dirinya bangkit, seketika kain kompres tergelincir jatuh ke pangkuannya. Caspian menyentuh keningnya yang lembab bekas dikompres, dan kepikiran bahwa barangkali semalam dia demam sehingga Lula merawatnya. 

Dia tidak tahu apa yang terjadi sebelum dirinya berbaring di kasur sambil berpakaian mirip bocah sakit―mengenakan setelan piyama kotak-kotak, sepasang kaus kaki, terhampar di bawah selimut, bahkan tubuhnya sekarang beraroma minyak wangi, yang berarti satu hal; Lula sempat membasuh tubuhnya. Sebenarnya sudah berapa lama dia ada di tempat tidur? Sejak kapan dia demam? Pertanyaan-pertanyaan itu merubungi benak Caspian sehingga dia tidak sadar bahwa pintu kamarnya sudah dibuka sedari tadi. 

Lula berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi semangkuk sarapan. Eskpresinya kaget ketika melihat Caspian yang duduk bersandar di kepala ranjang. "Caspian, kau sudah sadar?"

Caspian berpaling pada Lula dan tersenyum dengan tulus, senang melihat wajah cantik kekasihnya menyambutnya seperti biasa. Dia berkata dengan nada menggoda dan manja, "Hei, Lula. Kelihatannya kau kerepotan merawatku yang sedang sakit, ya?"

"Kau demam," kata Lula.

"Uh, sepertinya karena kecapekan."

"Kau ingat apa yang terjadi saat aku menemukanmu?" Lula langsung menodonginya pertanyaan tersebut. Selagi wanita itu menghampiri kasur, Caspian masih senyum-senyum seperti orang yang tiada berdosa. Dia menatap kekasihnya dengan pancaran haus akan kasih sayang. 

"Hm?" gumamnya seraya menarik lembut Lula yang berdiri di pinggir kasur agar duduk bersamanya. "Kau menemukanku? Apa aku tidak sadar?"

"Ya."

"Itu pasti karena demam."

"Caspian, sadarlah." Lula menepis tangan Caspian yang berusaha mengusap pipinya. 

Pria itu kebingungan melihat sikap kekasihnya yang kelewat serius.

"Ada apa, Lula? Apa sebelum ini aku berbuat kasar kepadamu?"

"Kau membunuh temanmu. Kau tidak ingat?"

"Abbey, maksudmu?"

"Noah Dalton," koreksi Lula, dengan nada tertahan, seolah dia sendiri merasa berat menyebut nama pemuda malang itu. Ingatan kekacauan yang dilihatnya kemarin kembali mengusir ketenangan yang sudah susah payah dia bangun. "Kemarin aku menemukanmu bersimbah darah di ruang tamu. Kau baru saja membunuh Noah dengan tanganmu sendiri, Caspian! Kau―mencekiknya―meremukkan tulang lehernya dan ... darahnya―darahnya, bercipratan di mana-mana. Kau membunuh. Kau membunuh orang itu!" 

Suara Lula amat terguncang dan seluruh tubuhnya gemetaran. Wanita itu menutupi lelehan air mata di wajahnya dengan kedua tangan. Sementara Caspian, kini tercabik di antara keterkejutan dan rasa tidak percaya. Ingatan kemarin pagi sekonyong-konyong membanjiri kepalanya bagaikan lelehan pijar yang membakar kedamaian dalam sekejap. Samar-samar dia mengingatnya ... saat jemarinya mencengkeram leher Noah dan membunuhnya tanpa ampun. Caspian tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Ada sesuatu―iblis―yang merasuki tubuhnya dan membuatnya gelap mata. Iblis itu membisikinya kata-kata buruk dan mengambil alih pikirannya, mengunci Caspian yang asli dalam sudut ruangan bernama kepasrahan. 

Sekarang fakta itu membuat Caspian ikut ngeri. Dia memegangi kepalanya yang pening seolah ada batu nisan berat yang menjepitnya. 

"Caspian," kata Lula, memegangi kedua lengannya. "Apa yang sebetulnya terjadi kepadamu? Selama ini kau sering bersikap seperti orang yang bukan kau!"

𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang