bab 6

0 0 0
                                    

"u-ugh"

Sorot mata coklat terang perlahan terbuka, mencoba menyesuaikan cahaya yang pertama kali ia lihat, samar dan buram, suara Geraman kasar dan serak dalam tenggorokan keringnya, sudah berapa lama ia seperti ini, rasanya masih terasa pening dan mual.

"Brian! Finally! Kupikir kamu telah mati"

Suara riang dengan kelegaan walau terdengar kurang ajar, Brian menghela nafas pelan mengetahui suara dan tuturan kata yang suka tidak di perhatikan.
Matanya masih tidak kuat membuka, terasa berat dan perih.

"Isaac", suara Brian yang parau serak menatap sesosok lelaki muda berkaca mata kotak, senyum lebar menunjukkan sederet gigi yang rapih, rambut coklat tersisir rapih, mata coklat tua tertatap riang kepada Brian.

Tubuh kekar yang di perban membuat ia meringis saat ingin bangkit untuk duduk, memijat kening yang juga ada kain perban dan tidak lama mengerang merasakan luka yang masih basah tertutup kain, tetap saja ini masih terasa sakit.

"Jangan banyak bergerak, tubuhmu masih butuh pemulihan, lihat lukamu cukup parah"

Isaac membantu Brian untuk duduk, mengambil bantal untuk menjadi sandaran punggung Brian yang terasa remuk akan misi kemarin, suara Geraman menahan sakit terus keluar dan mendesah kesal.

"Berapa lama aku tidak bangun"

"Sudah 6 hari kamu tidak sadarkan diri", jawab Isaac santai seraya memperhatikan kuku-kukunya, kaki yang terlipat di atas lututnya, menyender santai.

Terdiam seribu kata mendengar tuturan Isaac barusan, 6 hari ia pingsan?!— Brian mendengus kesal memijat tulang hidung tegasnya, mengernyit mengetahui ia tidak sadar akan kejadian misi kemarin yang gagal lagi, tidak lama ia teringat sesuatu.

"Dimana Bram?!"

Mata di balik kacamata coklat menoleh kepada Brian yang seperti khawatir tapi ia balas dengan kekehan geli dan humor.

"Well —"

••••

"Arghh! Honey!"

"Kamu diam saja bodoh!"

Suara teriakan wanita yang kesal, tatapan tajam dari mata gelap sirene, alis yang berkerut jengkel, menatap Bram yang merengek kesakitan seperti anak-anak, kembali mengikat kasar perban di bagian perut kekar abs-nya yang terdapat luka.

Bram meringis manja menatap kekasihnya yang terus-menerus jengkel, terus mengobati lukanya yang masih basah.

"Alexia sayang"

"DIAM!"

Bram terkekeh geli melihat kekasihnya yang masih saja menggerutu kesal dan bibirnya masih terus cemberut, membuatnya ingin menggodanya, terlihat menggemaskan baginya.

"Ayolah, seperti ini kamu memperlakukan pacarmu yang terluka saat bertugas? Terus diam dan tidak berbicara dengan ku?"

Tangan kekar beruratnya terulur mengelus pipi lembut Alexia, kulitnya begitu lembut saat di sentuh dengan kulit telapak tangan yang kasar, menatapnya hangat dan kasih sayang, menangkup pipinya penuh perhatian tak terlewatkan tatapannya.

Alexia menatap Bram, berusaha kuat walau ia ingin menangis menatap luka Bram akibat pembunuh itu. rasa sedih, khawatir dan takut kehilangan lelaki yang ia sayangi, tetap berusaha kuat tidak ingin membuat Bram khawatir dengannya.

Mengingat saat Bram terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit saat tim penyelamat berhasil sampai membawa mereka dari tempat kejadian, luka yang dalam juga darah yang kering di kulit sawo matang, Alexia hampir terisak saat ia tidak sadarkan diri— putus asa dan ketakutan.

The Insidious heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang