🌻Hira - Chapter [32]🌻

49 5 1
                                    

Langsung saja, HAPPY READING^_^
_________________________

"Berdiri di sini, sampai waktu solat malam tiba. Paham?!"

"Iya, Gus, Paham," jawab kelima santriwati dengan rasa takut. Mereka berlima siapa lagi kalau bukan Sandra dan tiga orang temannya, serta satu orang santriwati yang membawa Wulan ke toilet.

Saat ini, mereka dihukum dengan cara mengangkat satu kaki kebelakang, serta dua ember berisi air di kedua tangan mereka. Tidak hanya itu, di dada mereka juga terdapat papan kayu bertuliskan 'Kami bersalah'.

Fahlan, berlalu pergi begitu saja meninggalkan kelima santriwati ditengah lapangan pesantren. Seperti biasa, sikap dinginnya, ia curahkan. Apalagi saat ini, ia sedang marah dengan perlakuan para santriwati itu. Baru kali ini, ia mendengar penindasan antara santri yang terjadi di pesantren milik orang tuanya.

"Kenapa perasaan aku gak enak?" gumam Fahlan, saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Ia menepis perasaan tak enaknya, jauh-jauh. Fokusnya saat ini adalah pulang ke rumah dan melihat istri cantiknya. Itulah yang selalu Fahlan pikirkan.

"Pokoknya, kalau jam sholat malam sudah tiba, kita harus segera pergi dari sini, kalau gak, bisa berabe urusannya."

Keempat santriwati mengangguk setuju, mendengar perkataan Sandra. Sedangkan, Sandra melayangkan tatapan sinis pada santriwati yang membawa Wulan ke toilet. "Kecuali, Lo."

"Hem?" santriwati itu, terlihat kebingungan mendengar perintah terakhir dari Sandra.

"Lo harus di sini, sampai subuh. Itu hukuman buat lo, karena lo berusaha melarikan diri tadi. Seenak jidatnya aja, bilang gue yang salah. Padahal dia sendiri yang bawa si cupu itu ke toilet."

Sandra, benar-benar tidak habis pikir dengan santriwati itu. Seumur hidupnya, ia tidak pernah dihukum di pesantren. Ini semua salah santriwati itu, apapun yang terjadi, Santriwati itu tetap salah baginya. Ia kembali mengingat, di mana sebelumnya, santriwati itu menjelaskan semua yang telah terjadi. Dari mulai, ia diserang oleh Sandra, hingga diperintah untuk membawa Wulan ke toilet, walaupun akhirnya, santriwati itu juga tetap dihukum.

"Tapi kan, aku gak bohong, itu semua-"

"Diam!"

Bungkam, santriwati itu langsung terdiam dan tak berani lagi melanjutkan perkataannya. Tidak ada diantara mereka yang berani melawan Sandra. Gadis itu seperti pemburuh bayangan. Selama ini, ia melakukan penindasan tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali teman-temannya. Tapi hari ini, ia ketahuan. Nama baik yang ia jaga sejak awal masuk ke pesantren ini, seketika musnah. Seperti kata pepatah, Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Begitulah perumpamaan yang tepat untuk Sandra dan ketiga temannya.

***

Di sisi lain, di tempat yang berbeda, Hira berlari menuju meja pembayaran bar. Namun, sialnya, ia tak sengaja tersandung kakinya sendiri, hingga membuatnya terjatuh. Untungnya, ada seorang pria yang menarik lengannya. Hira, melirik pria itu sekilas, sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Ia juga melepaskan lengannya dari tangan pria itu.

"Ma-af, gak sengaja. Makasih udah nolongin saya."

"Bagaimana bisa, ada perempuan secantik kamu ditempat seperti ini?"

Mendengar pertanyaan pria itu, membuat Hira, kembali mendongak. Ia menatap wajah pria jangkung di sampingnya, dengan tatapan tidak suka. Jelas, Hira tidak suka digoda oleh pria, kecuali Fahlan, suaminya. Ingin sekali rasanya Hira memarahi pria itu, namun ia mengurung niatnya. Tujuan datang ke tempat ini bukanlah untuk membuat masalah, tetapi untuk menyelamatkan sahabatnya.

Hira, mendekati meja bar. Terlihat seorang wanita seksi yang sedang menuangkan minuman ke dalam gelas. "Mau?" tawar wanita itu, pada Hira.

Hira, segera menggeleng. "Maaf, apa semua pengunjung disini tercatat?" tanya Hira.

"Tidak semuanya. Yang tercatat hanya para tamu yang menyewa kamar, serta beberapa para tamu yang mungkin berhutang."

"Boleh cek daftar namanya?"

Mendengar permintaan Hira, wanita itu pun segera mengambil buku kecil yang ada dilemari kaca. "Atas nama siapa?" tanyanya.

"Difa."

Wanita itu melihat daftar nama dengan saksama. Ada ratusan nama orang yang tercatat di sana. Namun, dengan mudahnya ia menemukan nama yang Hira cari. "Difa lestari, atau Difarah?"

Bungkam. Hira tidak tau apakah diantara kedua nama itu, merupakan nama temannya Difa. Setau Hira, nama Difa hanyalah Difa, tidak ada nama lainnya. Selama bersekolah pun, Hira sangat tau, kalau temannya itu hanya punya satu nama.

"Kenapa diam?" tanya perempuan itu, menyelidik.

"Apa tidak ada nama Difa di sana? Difa saja, tidak ada nama tambahan."

"Kalau pun ada, tidak mungkin saya tidak menyebutkannya," wanita itu mulai merasa jengkel pada Hira.

Hira, menggigit jari jempolnya dengan kasar. Ia tidak pernah menduga, kalau dirinya akan kesulitan mencari Difa. Mungkinkah, ini semua terjadi karena dia tidak berpamitan dengan suaminya?

Tidak ada yang tau, ke mana perginya Hira saat ini.

Hira, berulang kali menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya, ia mengajak Fahlan ke tempat ini. Penyesalan selalu diakhir, dan dia juga tidak mungkin segera pergi dari tempat itu, tanpa membawa Difa pergi. Tanpa Hira sadari, pria yang sebelumnya ia tabrak, menatapnya penuh nafsu.

"Difa Lestari?" gumam Hira. Ia mencoba mengingat nama Lestari. Tapi, siapa? Hira pu tidak bisa mengingatnya. Rasanya tidak asing baginya, tapi siapa dan di mana?

"Difa Lestari. Difa Lestari, ada di kamar mana?" tanya Hira. Ia merasa, Difa Lestari adalah Nama yang Sahabatnya gunakan di tempat ini. Walaupun, ia belum ingat siapa pemilik nama Lestari ini, namun ia sangat yakin, kalau itu adalah Difa. Ia selalu mengikuti insting dan kata hatinya. Mungkin saja tebakannya benar, karena ikatan diantara mereka berdua yang cukup dekat selama ini.

"John!"

Wanita bar itu, meneriaki sebuah nama. Tak perlu waktu lama, seorang pelayan laki-laki mendekatinya. Hira, memperhatikanmu gerak gerik keduanya dengan saksama. Terlihat, wanita bar itu, berbisik pada pria yang Hira anggap, sebagai pemilik nama John.

Ada perasaan tidak enak di dalam hati Hira saat ini. Apalagi, saat melihat raut wajah dua orang yang berbisik di hadapannya. Keduanya, terlihat mencurigakan, namun ia harus menepis pikiran buruknya. Hira segera mengedarkan pandangan ke lain arah. Ia mencari seseorang di sana, siapa lagi kalau bukan sopir taxi yang mengantarnya ketempat keji ini.

"Ke mana perginya?" gumam Hira, pelan.

Pria paruh baya yang sebelumnya ada di dekatnya, kini sudah tidak terlihat lagi di sana. Hira, menyentuh kedua pipinya. Ia kebingungan, sekaligus gugup saat ini. Tidak ada orang yang ia kenali ditempat ini. Semuanya, terlihat asing. Sekarang, dia sendirian.

Hira meraba saku bajunya, ia mencari sesuatu di sana. "HP-ku? Di mana HP-ku?"

Kini, Hira semakin ketakutan. Ponselnya hilang entah ke mana. Hira mencoba mengingat terakhir kalinya, ia merasa memegang ponselnya. "Mungkinkah, sopir taxi itu mengambilnya? Atau mungkin terjatuh tadi, pas aku gak sengaja nabrak orang tadi?"

Hira, terus menerka-nerka, sambil terus mencari ponselnya di lantai. Dan akhirnya, ia kesal sendirian. Ia menghentikan kedua kalinya ke lantai dengan kesalnya. Tanpa ia sadari, pria yang sebelumnya ia tabrak, menggenggam ponselnya. Dugaan Hira benar, bahwa ponselnya terjatuh saat ia tidak sengaja menabrak seseorang.

Pria itu, tersenyum licik. Ia menghampiri wanita bar yang sedang berbincang dengan pelayan laki-laki di sana. "Bawa gadis itu, padaku."

__________________________
Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang Hira & JodohnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang