♡ ♡ ♡
Dodo segera meminta izin pulang dan pihak sekolah pun dengan cepat mengabulkannya. Sesampainya di rumah, Dodo langsung menuju kamar mamanya. Di sana, dia melihat mamanya berbaring lemah dan tampak pucat.
Namun, yang membuat Dodo semakin terkejut adalah informasi yang diberikan oleh bibinya. "Dodo... papa kamu... beliau mengalami masalah di pekerjaannya" ujar bibi, suaranya bergetar.
" Huh?, bibi ngomong apa?"
"Tuan diberi batas waktu untuk membela diri, tapi besok adalah hari terakhir."
Dodo mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Papanya? Mengalami masalah dalam pekerjaan? Selama ini kehidupan mereka begitu nyaman, seolah tak pernah ada masalah. Ia memandangi wajah mamanya yang tampak semakin murung.
"Tadi, Nyonya baru menerima kabar itu lewat sekretaris. Karena terlalu syok, akhirnya nyonya pingsan" lanjut bibi, menghela napas dalam. "Bibi sampai bingung harus menghubungi siapa, dan karena Wilona sedang ada acara, bibi putuskan buat panggil kamu."
" Cukup bi"
Dodo tak kuasa mendengar itu lagi. Perasaan sedih dan terkejut bercampur jadi satu. Sebagai anak yang tumbuh di keluarga berkecukupan, ia hampir tak pernah memikirkan bahwa masalah seperti ini bisa terjadi pada keluarganya. Dan sekarang, di hadapannya adalah kenyataan yang begitu asing.
Dodo langsung meraih ponselnya, berniat menelepon Wilona. Namun, belum sempat ia menekan nomor, suara mamanya yang lemah menghentikannya.
"Dodo, jangan..." Mama memandangnya dengan tatapan memohon. "Jangan beri tahu kakakmu dulu. Dia akan sangat terkejut... Mama takut dia tidak siap."
Dodo terdiam, melihat wajah mamanya yang penuh kekhawatiran. Ia tahu betapa Wilona mudah terharu dan sensitif, apalagi menyangkut papa seperti ini. Bayangan kakaknya yang bisa saja menangis atau tertekan membuatnya merasa bimbang.
"Jadi... Mama mau dodo tetap merahasiakannya dari Wilona?" tanyanya pelan.
Mamanya mengangguk pelan, kemudian menghela napas. "Iya, Nak. Biarkan kakakmu fokus dengan acara dan hal lainnya. Ini akan kita hadapi bersama dulu... tanpa harus membuat Wilona khawatir."
• • •
Harsya berdiri sambil memegang tas wilona, tangan yang satunya kini menggenggam tangan wilona dengan erat. Mereka bersebelahan seolah tingginya yang pas membuat mereka tampak begitu serasi. Sambil menatap Wilona yang masih tersenyum bahagia, Harsya menggoda, "Mbak MC, kelihatannya bahagia banget ya."
Wilona tersipu mendengar panggilan itu, kini Wilona tertawa dan memukul pelan bahu harsya. Siapa kira pangeran nya bisa tengil juga. Hal itu tak luput dari perhatian harsya. Membuat harsya tersenyum lebar melihat ekspresinya wilona yang manis.
Setelah perayaan acara yang sukses tadi, mereka semua diajak makan bersama di sebuah restoran oleh Bu Tia sebagai traktiran khusus.
Namun, saat mereka hendak pulang, hujan deras tiba-tiba mengguyur kota. Yang lain mulai berlarian mencari tumpangan, sementara Harsya dan Wilona tertahan di sebuah gazebo kecil di taman kota yang sepi. Tempat itu sempurna bagi harsya- tenang, jauh dari keramaian, hanya suara rintik hujan yang menemani. Harsya mengisyaratkan untuk duduk dan kini membuka jaket tebalnya, kemudian merangkul Wilona ke dalam jaketnya. Wilona kini merasa hangat tidak hanya karena jaketnya, tetapi juga kehangatan yang Harsya bagikan.
Saat suasana semakin nyaman dan hujan masih belum reda, Harsya dengan lembut merapatkan pelukannya. Ia melihat ke sekeliling, memastikan mereka masih sendiri di tempat itu, lalu menatap wajah Wilona yang tampak begitu menggemaskan dalam dekapan jaketnya. Tangan Harsya tergerak, menyentuh pipi dingin Wilona dengan lembut.