♡ ♡ ♡
Wilona menghela napas panjang di rumah kecil yang kini menjadi tempat berlindung baru bagi keluarganya. Sejak semalam, ia merawat mamanya yang jatuh sakit. Wilona belum sempat memeriksa ponselnya yang ia matikan dengan sengaja. Dirinya terlalu takut untuk melihat apa yang terjadi di luar sana. Dia tahu, di blog sekolah dan media sosial manapun kejadian memalukan di pesta topeng pasti sudah menjadi topik panas.
"Ah, mau nonton TV aja nggak bisa. Beritanya tentang Papa terus." Dodo terdengar menggerutu di ruang tamu. Wajah Dodo terlihat kesal saat mengubah saluran TV yang semuanya tampak sama. Berita terbaru soal skandal yang melibatkan papanya.
Wilona menghampirinya dengan senyum tipis, "Do kamu laper? Kakak masakin ya?"
Namun, Dodo mengerutkan dahi. "Nggak usah kak. Aku masak sendiri aja." Ia teringat masakan Wilona kemarin yang, menurutnya, lebih seperti eksperimen gagal daripada makanan.
Wilona menunduk, merasa sedikit sedih melihat adiknya harus mandiri itu. "Yaudah, Kakak bantu deh..." ujarnya, mengikuti Dodo ke dapur dan juga mulai menghangatkan masakan semalam. Dia merasa ada sedikit kehangatan yang menyelimuti hatinya saat mereka berdiri berdua di dapur sederhana itu, bahkan jika adiknya kadang mendengus kesal melihat caranya yang canggung dalam memasak.
"Kak, jangan pegang spatula gitu! Dipegangnya yang bener!" seru Dodo yang melihat Wilona hampir menjatuhkan spatula panas.
Wilona mendengus, "Kamu ini bossy banget! Biarin Kakak belajar dong!"
Dodo meliriknya dan tertawa kecil, "Nggak heran masakan Kakak kemarin rasanya... hmm ya gitu deh."
Wilona mengerutkan bibirnya, berpura-pura kesal. Ia kini bersyukur mereka masih bisa bersama, walaupun keadaan mereka tak lagi seperti dulu. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa ada kekosongan besar. Kerinduan pada kehidupan normal, pada teman-temannya, dan terutama pada seseorang yang ia sayangi... Harsya.
Sambil mengaduk bumbu, Dodo tiba-tiba bertanya, "Kak, besok Kakak sekolah?"
Wilona terdiam mendengar itu, ia tak tahu harus menjawab apa. Hatinya masih terlalu berat dan takut menghadapi dunia di luar sana, apalagi sekolah. Tapi melihat adiknya yang tetap tegar dan memutuskan akan tetap bersekolah, ia merasa sedikit lega.
"Aku mau sekolah. Karena dodo yakin pasti nanti semuanya akan baik-baik aja" yakin dodo dengan senyuman kecil, seolah ingin menenangkan kakaknya.
Wilona tersenyum tipis, menepuk bahu adiknya, sambil berbisik, "Makasih do. Kamu anak yang hebat."
• • •
"Gue udah coba cek aktivitas terakhir Wilona dari beberapa platform yang biasa dia pakai. Akhirnya gue dapat titik terakhir sinyalnya" kata Gavin sambil menatap layar laptop nya dengan serius.
Semua teman-temannya mendekat, penasaran dengan apa yang Gavin temukan. Harsya yang duduk di sampingnya, tampak paling tegang. "Jadi, di mana lokasi terakhirnya?" tanyanya dengan nada tak sabar.
Gavin mengetik beberapa baris kode lagi sebelum menunjuk ke layar, menunjukkan peta dengan sebuah tanda lokasi di sebuah area pemukiman dekat pasar rakyat yang cukup jauh dari pusat kota. "Di sini. Nggak nyangka woy, dia udah pergi sejauh itu, tinggal di pemukiman rakyat" ucap Gavin sambil menghela napas. Semua terdiam, tampak terkejut dan tak percaya.
Harsya langsung berdiri, tampak semakin gelisah. "Kalau gitu, kita harus ke sana sekarang. Gue nggak bisa tenang kalo nggak tahu dia baik-baik aja" tegasnya, sorot matanya menunjukkan tekad bulat.
Juneo, yang duduk di seberangnya, mengangkat tangan seolah memberi isyarat untuk menahan Harsya sejenak. "Sya, kita ngerti lu mau ketemu Wilona sekarang. Tapi lu juga harus mikir matang-matang. Keadaan di sekolah masih belum kondusif buat dia, apalagi dengan semua hujatan yang makin parah di blog sekolah. Gue khawatir kalau kita maksa dia untuk ketemu atau bahkan balik, itu malah bikin dia makin tertekan."