29

16 6 9
                                    

Hampir satu bulan berlalu sejak kejadian di mana Daeun dan Daehoon berhasil selamat dari bahaya yang hampir merenggut nyawa mereka. Kondisi Daehoon kini sudah hampir sepenuhnya pulih, wajahnya kembali cerah, dan kekuatan fisiknya kembali seperti sediakala. Setiap gerakannya memperlihatkan ketenangan dan kewaspadaan yang terlatih.

Daeun, meskipun sudah mulai membaik, masih berjuang melawan sisa-sisa racun yang masih menguasai tubuhnya. Racun itu memang sudah mulai melemah, namun efeknya tetap tertinggal di dalam dirinya, membuat tubuhnya rentan dan lemah. Setiap hari, ia perlu menjalani pengedaran energi—proses yang membutuhkan kesabaran dan ketelitian.

Daehoon tak pernah melewatkan satu pun sesi pengedaran energi itu, selalu mendampingi Daeun dengan penuh perhatian. Ia memegang tangan Daeun dengan lembut, memandu energinya mengalir pelan-pelan, mengarahkan alirannya dengan ketepatan dan ketulusan.

“Tenangkan napasmu, Daeun,” bisik Daehoon dengan suara lembutnya. “Biarkan energimu mengalir dengan alami dan membawa racun itu pergu.”

Daeun mengangguk pelan, matanya terpejam, berusaha mengikuti arahan Daehoon sambil menahan ketidaknyamanan yang masih terasa dalam tubuhnya. Di setiap tarikan napas, ia berusaha melawan sisa-sisa racun yang mencoba menguasainya.

___

Pagi itu, suasana di istana dipenuhi persiapan untuk keberangkatan Daehoon ke Kerajaan Nakyang. Bagi Daehoon, kunjungan ini bukan hanya sekadar urusan diplomatik,tetapi ketegasan daehoon diuji antara meninggalkan daeun atau membawanya dan akhirnya ia memutuskan untuk membawa daeun bersamanya. Ia tak bisa membiarkan gadis itu tinggal sendiri di istana, mengingat pengorbanannya pada waktu itu yang telah menyelamatkannya dari bahaya.

Saat mereka bersiap, Daeun berdiri dengan pakaian anggun namun sederhana, siap mendampingi Daehoon di perjalanannya. Namun, tak jauh dari mereka, Hyun Jae—menatap penuh kekhawatiran. Rasa takut yang mendalam kembali muncul dalam dirinya, mengingat kejadian mengerikan yang hampir merenggut nyawa adiknya. Baginya, melepas Daeun ke perjalanan jauh lagi bersama Daehoon adalah keputusan yang berat.

Daeun memandang kakaknya, Hyun Jae, dengan senyuman kecil yang penuh keyakinan. “Oppa, kau tak perlu khawatir. Kali ini, Daehoon akan lebih menjagaku dengan baik,” ujarnya lembut, memberi jaminan untuk meredakan sedikit rasa cemas yang tergambar jelas di wajah Hyun Jae.

Ia melanjutkan, “Lagipula, aku harus pergi bersamanya demi kesehatan dan pemulihanku, bukan?” Ucapan itu tak hanya menjadi alasan, tapi juga sebuah keyakinan yang membuatnya tampak begitu santai dan siap menjalani perjalanan ini.

Hyun Jae terdiam, jelas masih menimbang-nimbang.

Sebelum kekhawatirannya berkembang lebih dalam, Daeun menambahkan dengan sedikit senyum jahil, “Jadi, sementara aku pergi, bisakah Oppa menemani putri Aeshin? Kudengar ia ingin pergi ke tempat biasanya untuk belajar. Selain itu... kau tahu, kan? Terkadang ia juga butuh teman saat pikirannya penuh,” tambahnya, mengalihkan perhatian sang kakak secara halus.

Hyun Jae, walau awalnya enggan, akhirnya mengangguk. Dalam hati, ia tak bisa menyangkal keakraban yang tumbuh antara dirinya dan Aeshin selama beberapa waktu terakhir meskipun aeshin lah yang lebih cenderung memintanya untuk menemani nya. Diam-diam, ia merasa senang bisa menemani Aeshin, meski tak pernah mengakuinya. Tanpa sadar, wajahnya sedikit memerah.

Daehoon mendekati Hyun Jae dan menatapnya dengan penuh pengertian. “Hyun Jae, aku memahami kekhawatiranmu,” ucapnya tenang namun penuh keyakinan. “Tapi kali ini, aku akan menjaga Daeun dengan segenap hidupku. Keamanannya adalah prioritas bagiku.”

Hyun Jae menatap Daehoon dalam-dalam, menimbang kata-katanya, sebelum menghela napas berat. “Aku tahu kau berjanji untuk melindunginya, tapi hati ini tetap tak bisa tenang. Hanya saja… jika kau yakin bisa menjaga keselamatannya, aku akan percayakan Daeun padamu. Tapi ingat, dia adalah satu-satunya keluargaku.”

DALEUN{ongoing}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang