25. Jejak yang Tertinggal

2.7K 361 148
                                    

___________________________________________


ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Marsha melirik pada jam dinding di sampingnya. Ia menguap tanda mengantuk, tapi tentu saja urung untuk tidur karena belum saatnya ia harus istirahat.

Marsha melirik kakinya yang saling tumpang tindih dengan kaki Azizi, lalu entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdegub lebih cepat, mengingat hal yang terjadi satu jam yang lalu, bisa dipastikan pipinya merona dan selamat Marsha, untuk sehari—seminggu—sebulan ke depan, ia akan terus kepikiran dengan malam ini.
Marsha menoleh sebentar, pada bantal hidup yang sekarang ia jadikan sandaran kepalanya. Hawa pria itu masih cukup panas untuk ruangan sedingin ini, mungkin itu terjadi karena kulit mereka yang saling menyentuh dan bergesekan.

"Aku selalu bingung deh, Zi..."

"Bingung kenapa?"

"Rasanya kok 'beda' ya?"

"Bedanya?"

"Enggak tahu sih... tapi, menurutku..." Marsha memainkan jari-jari Azizi yang kini melingkar di lehernya. "Kenapa ya, kumpul kebo tuh rasanya lebih enak aja gitu..."

Pria itu tak menjawab, tapi dibalas dengan tawa pelan dan bergetar, sampai kepala Marsha ikutan bergetar juga.

"Dih, malah ketawa." Marsha dongkol. "Enaknya tuh karena dibumbui setan kali ya?"

Marsha tidak lahir dan menjalani hidup sebagai orang yang suci. Tapi, tentu saja, ia punya adab dan batasan-batasan yang ia yakini. Malam ini, ia keliwat batas, melewati apa-apa yang sudah ia teguhkan.

"Mungkin..."

"Tapi, enggak tahu kenapa, rasanya aku lega aja."

"For what?"

"Enggak tahu... mungkin ini kedengeran bajingan, tapi, aku merasa lega aja kalau sama kamu. Maksudku, kalau aku kenapa-kenapa, gampang buat cari kamu atau ngancam kamu." Marsha tertawa. "I mean, kamu tahu aku siapa, orang tuaku tahu kamu siapa, gampang buat nyari kamu kalau aku kenapa-kenapa."

"Takut..." Azizi tertawa meledek.

Marsha mendengus.

"But, thanks..."

"Ngapain bilang makasih?"

"Eh, kenapa? Saya kan belum bilang, saya makasih buat apa."

"Ya buat yang tadi lah, dipikir aku enggak tahu." Ujar Marsha, sewot. "Aku tahu kalau kamu habis ini bakal berpikir, hahahaha ternyata gampang juga cuma buat dapat—"

"No..." Sadar akan lanjutan ucapan Marsha barusan, Azizi segera menggeleng. "Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?"

Marsha hanya mengangkat bahunya. "Some times, you are annoying—aku enggak tahu, kayaknya karena temanmu si Oniel Oniel itu juga annoying, jadi keikut sama dia. You can do evil things..." Tuh kan, belum apa-apa Marsha kembali teringat dengan kejadian kartu kredit berbulan-bulan yang lalu. "You can be so dangerous... sometimes I'm scared... jadi, aku pikir kamu juga bisa licik dan cuma mainin aku aja, kayak waktu itu."

"Kapan?"

"Waktu kamu minta cerai." Ungkap Marsha jujur. "Waktu kamu minta rujuk, waktu aku bilang aku mau diajak rujuk dan ternyata kamu punya pacar. Bangsat kan? Aku di-prank banyak banget, aku tahu kamu pasti ketawa soal yang itu."

Tidak, sebenarnya Azizi tak pernah menyangka jika Marsha mau diajak rujuk pada saat itu. Ia memang awalnya berpikir jika kembali dengan Marsha adalah jalan terbaiknya, tapi, ketika ia melihat Marsha menangis di mobil—sekali lagi, Azizi jarang sekali melihat Marsha menangis bahkan di hari di mana ia memberikan surat cerai, dari sana, Azizi berpikir jika jalan rujuk dengan Marsha memang bukan yang terbaik.

Somewhere Far AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang