___________________________________________
ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ
"Papa punya pacar?"
Azizi baru sadar jika pencampuran darah ia dan Marsha, menghasilkan dua anak manusia yang... er... menyeramkan. Azizi tak bohong waktu bilang ia sedikit takut menghadapi dua anaknya, karena... lihatlah, mereka berdua betulan menyeramkan.
Gracie dan Michie memang berekspresi kaget dan ada tatapan berbeda dari masing-masing mata mereka, tapi, begitulah, itu menyeramkan sekali.
Malam itu, malam di mana Azizi mengajak Marsha rujuk dan berakhir dengan Marsha menangis di mobilnya. Azizi dengan matang menarik kata-katanya untuk rujuk. Bukan karena ia tak mau, Azizi betulan memikirkan dua anak mereka dan rasanya rujuk menjadi jalan yang sangat baik. Tapi, melihat Marsha yang menangis, ia yakin untuk tak lagi mengajak wanita itu rujuk.
Marsha nyaris tak pernah menangis. Mungkin pernah, tapi, bukan di depan Azizi. Sewaktu ia mengasongkan surat cerai di depan mata wanita itu, Azizi ingat bahwa Marsha hanya tersenyum dan mengangguk, mengiyakan kemauan Azizi.
"Aku tahu kamu udah pikirin ini lama banget." Kala itu, ia menerima satu buah Map berisi beberapa lembar kertas itu, dibuka dengan tenang. "Aku juga sebenarnya udah siap-siap dari waktu ulang tahunku, ulang tahunmu—ternyata kamu ngasih ini ke aku di anniversary kita. I'm not surprised, anyway." Ia membaca dengan tenang sekali isi surat cerainya. "Ada pulpen?"
Azizi segera merogoh kemejanya dan mengasongkan bolpoin berwarna hitam.
"Di mana aku harus tanda tangan?"
"Kamu enggak mau tanya kenapa saya minta cerai?"
Marsha menggeleng kecil. "Enggak. Kalau udah sampai diam-diam kamu ngurus sendiri. Artinya kita emang udah enggak sejalan 'kan?"
Tak ada ekspresi sedih atau terkejut, bahkan, Azizi yang mengharapkan Marsha memohon untuk membatalkan gugatan cerai saja, ia tak mendapatkannya sama sekali. Perceraian dilakukan Pengadilan Negeri dengan sangat lancar, ia diberi banyak kemudahan dan Marsha selalu datang ke prosesi sidang tanpa banyak bertanya, menyanggah dan lain sebagainya. Seperti meyakinkan Azizi, bahwa hati wanita itu... memang tak lagi bisa ia miliki. Dunianya, sudah bukan lagi tentang Azizi.
"Morning kiddos. Kalian kangen aku enggak?"
Merasa lama ada dalam ketegangan, rupanya Marsha pandai melunakkan suasana yang tegang. Marsha beringsut dan memeluk anaknya satu persatu juga mencium puncak kepala mereka seperti biasa.
"Pare crispy pesanan adek udah Mama buat. Mau dibawa ke sekolah enggak?"
"Boleh, Ma. Makasih ya, Ma. Adek ngerepotin Mama."
"Apaan sih, Mama suka masak pagi-pagi. Nanti kalau minta apa-apa, bilang Mama ya. Kakak juga."
Dua anak itu mengangguk singkat.
"Udah mau siang, kita berangkat sekarang?"
"Michie udah janji sama Mama, mau berangkat sama Mama, Pa."
Azizi terkejut. Marsha terkejut, ajaibnya, Gracie juga terkejut.
Marsha yakin ia tak melewatkan obrolan apapun dengan Michie tadi malam. Tapi, ia betulan tidak tahu kalau ia menjanjikan mengantar sekolah Michie pada pagi ini.
"Kakak juga, Pa. Michie kemarin bilang mau diantar Mama, jadi Kakak ikut juga." Kata Gracie kemudian.
"Ha?" Azizi terkejut.
"Oh, iya. Kemarin anak-anak ngomong. Jadi, mereka berangkat sama aku." Marsha menganggukkan kepalanya.
"Oh... tapi, padahal Papa day-off."
KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Far Away
Fiksi Penggemar"Let's run somewhere far away where The Stars kiss The Ocean."