19. Dismenore

1.7K 296 95
                                    

___________________________________________

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ




"Minggu depan I mau pergi ke Toko Kain. Ya... enggak toko sih, pasar kali ya? Mau ikut enggak?" Marsha baru saja meletakkan jar berisi overnight oatmeal yang ia buat tadi malam. Sebenarnya untuk dua anak-anaknya, tetapi masa iya, ia hanya membuat dua porsi sementara si Duda Fakir Asmara harus repot-repot membuat sarapannya sendiri, padahal setahu Marsha, orang itu punya jadwal kerja di pagi hari.

Atas kebaikan hatinya yang lemah lembut ini, Marsha akhirnya membuat empat porsi overnight oatmeals.

"Hari apa?"

"Hari kamu day-off."

Azizi menoleh sebentar setelah mengecap rasa stroberi di atas jar-nya. "Kalau saya enggak day-off?"

"Ya berarti tungguin kapan-kapan."

"Itu apaan? Kencan?"

"Bukan lah. Ngajak pergi doang." Marsha menggeleng.

"Entar deh."

"Ngajak pergi lho, bukan ngajak kawin. Mikirnya lama amat."

"Kamu tahu saya cowok kan?"

Marsha berdecak. "Luarnya sih cowok ya, kalau dalemnya..." Marsha mengangkat bahunya. "Eh, dalemnya juga cowok, kok. Lupa aku, aku kan pernah sering lihat dalemnya." Kemudian ia tertawa. "Dulu."

"Yakin, ngajak duluan?"

"Bacot ah." Marsha mengembuskan napas sebal. "Dulu lo ngajak duluan, taunya gue di-prank. Mending gue dulu yang ngajak."

"Air mata saya belum kering, Sha. Habis putus sama Ashel." Azizi pura-pura mengusap air mata di pipinya.

"Butuh hair-dryer enggak? Gue keringin sampe mampus tu mata."

"Sewot banget." Azizi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lama enggak tuh belanja kain-kainan itu? Kaki saya pegal nemenin kamu belanja kemarin. Kapok."

"Beli kain itu kayak nyari jodoh, Dok. Kalau enggak cocok ya lama, kalau cocok langsung bungkus lah."

"Bungkus doang? Enggak dinikahin?"

"Bungkus, bayar, pulang. Dah. Enggak usah mancing kemana-mana." Marsha mulai meletakkan jar selanjutnya di meja depan kursi Michie dan Gracie. Dua anak itu masih heboh di lantai dua, teriak-teriak mencari barang mereka masing-masing. "Take it or leave it."

"Biar enggak kelihatan kamu ngarep ya, Sha?"

"Marsha? Ngarep? Marsha ngarep? Enggak ada. Kalau memang enggak mau, ya udah, enggak usah. Aku pergi sendiri."

"Ngambek." Azizi tertawa. "Iya, saya temenin. Enggak usah pundungan gitu dong. Udah tua."

"Tapi, aku kelihatan tua enggak sih?" Tanya Marsha, tiba-tiba ia overthinking. Kini, ia mencondongkan badannya, mendekatkan wajahnya ke wajah Azizi, supaya dilihat apakah di usianya yang 6 tahun ke depan sudah memasuki kepala empat ini, belum ada kerutan yang jelas terlihat.

Sedari muda—remaja, maksudnya. Marsha sangat terobsesi dengan kulitnya yang kencang, sehat dan selalu kelihatan muda. Jadi, sedari dulu, ia tak pernah sembarangan dalam merawat diri, termasuk apa yang menjadi makanan dan jadwal tidurnya. Ia usahakan semuanya berjalan sesuai kebutuhan.

"Udah pernah facelift kan? Enggak kelihatan kok." Azizi menggelengkan kepalanya, meski agak kaget sewaktu Marsha mencondongkan wajahnya dengan dekat ke wajah dirinya.

Somewhere Far AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang