21. Gullible

1.3K 242 129
                                    

___________________________________________

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Marsha menghilang.

Azizi tidak perlu kaget bukan? Marsha selalu menghilang begitu saja, pergi tanpa pamit, tanpa memberi pesan apa-apa dan tanpa penjelasan apapun ke mana ia pergi. Dulu, ia tak peduli. Dia tak pernah peduli mau Marsha ada di depan matanya atau jauh dari jangkauannya.

Namun, kali ini, Azizi tidak bisa menerima fakta ini begitu saja. Entahlah, meski sudah bukan siapa-siapa, selalu mampir resah-resah kecil ketika ia tahu bahwa wanita itu tak ada. Azizi yakin, mungkin ini terjadi karena sekarang mereka sedang bekerja sama menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak, tidak lebih dari itu.

Sebenarnya, Azizi juga sedikit berpikir, mungkin pelukan mereka pada malam itu... tujuh hari yang lalu, membuat Marsha enggan berdekatan lagi dengan Azizi. Sebab, sebenarnya, Marsha memang harusnya merasa seperti itu mengingat banyak kejadian buruk di masalalu pernah Azizi lakukan kepada wanita itu.

Lama-lama, pikiran itu segera enyah dengan berjalannya hari ke hari. Sekarang yang terjadi bukan resah lagi, ia malah memikirkan yang tidak-tidak. Penelepon misterius pada malam itu lah yang membuat Marsha pergi tanpa pamit. Marsha nampaknya berjalan keluar dari rumah dan memesan kendaraan lalu pergi meninggalkan Azizi.

Barang-barangnya—seperti tas dan pakaian bekas masih ada di kamar rahasia mereka.

"Azizi?"

Malam ini Azizi melucuti semuanya. Egonya, sakit hatinya, bencinya, dan segala hal yang ia tanam sendiri menumbuhkan kebencian dalam dirinya kepada Marsha. Setelah gundah tak menemukan Marsha di rumahnya, bahkan pagar rumah itu terkunci dari luar—Azizi melenggang pergi ke rumah Dokter Sinka. Rumah di mana Marsha menghabiskan masa kecil hingga dijemput Azizi untuk pergi ke rumah mereka yang baru.

Rumah yang menjadi tujuan pertama Azizi memulangkan Marsha ketika mereka pada akhirnya berpisah.

"Papa." Azizi mengangguk sopan kepada seorang pria bertubuh jangkung dengan perawakan kurus juga beberapa bagian tubuhnya yang keriput.

"Jemput anak-anak, ya?"

Azizi menggeleng.

Sudah seharian ini, Gracie dan Michie memang sedang sibuk bermain di rumah kakek neneknya, mungkin acara berkunjung mereka berdua itu bisa dihitung jari selama hidup. Karena, selama ini—selama Azizi kembali menyendiri dan memutuskan membawa serta merawat anak-anak, mereka jarang sekali mendapatkan izin berkunjung ke rumah Opa dan Omanya.

Tidak ada alasan. Azizi juga tidak tahu kenapa berat sekali mengizinkan mereka berdua berkunjung, akhir-akhir ini, ia hanya sadar jika Gracie dan Michie bukan hanya memiliki Azizi dan Flora dalam hidupnya. Ada keluarga Marsha juga, pihak keluarga Marsha yang masih akan membuka pintu rumah mereka untuk kedua anaknya.

"Anak-anak katanya mau nginep, Pa. Anak-anak... enggak ngerepotin kan?"

Papa berdecak. "Enggak dong, Zi. Papa tuh malah seneng... banget kalau Gracia sama Michie ke sini."

"Gracie, Pa. Bukan Gracia."

"Sama saja. Toh, artinya sama saja." Papa tertawa kecil.

"Azizi!"

Azizi segera memalingkan wajahnya ke arah dapur. Ia agak kaget dengan sebuah panggilan—tidak, itu bahkan sebuah jeritan Mama dari dapur. Mama berjalan sambil memegang wajan, kemudian memeluk Azizi dengan erat.

"Ma." Azizi mengangguk sopan.

Meski mereka bekerja di tempat yang sama, keduanya kompak hanya seperti dua orang asing jika sudah bertemu. Seperti partner kerja biasa saja.

Somewhere Far AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang