Ini adalah awal bagi Dipta, jauh dari Aily. Aktivitas pagi, biasanya dia selalu menjemput gadis itu, namun tidak dengan hari ini. Dia pergi langsung ke tempat pusat pelatihan bulu tangkis, agak sedikit kaku memang, karena 2 bulan kemarin dia beristirahat sejenak setelah membawa Thropy dari China.
Sebelum menuju tempat pelatihan, Dipta meluangkan waktunya sebentar untuk mengirim bubble chat kepada kekasihnya. Sekedar memberi kabar dan meminta maaf pagi ini Dipta tidak bisa mengantarkan Aily ke sekolah. Jawaban gadis itu memang benar-benar bisa membuat Dipta mabuk kepayang, membayangkan bagaimana lantunan suara nya yang sangat halus di dengar. Memikirkan Aily di saat latihan seperti ini, membuat Dipta tidak sabar untuk cepat-cepat bertemu Aily.
Dipta menggerakkan tubuhnya agar tidak terlalu kaku, disana coach Bima juga sedang mempersiapkan semuanya. Coach Bima adalah yang melatih Dipta selama ini, kedekatan mereka berdua tidak di ragukan lagi, Dipta lebih dekat dengan coach Bima ketimbang dengan ayahnya.
"Selama istirahat kemarin, kamu gak makan dan minum sembarangan kan?" Coach Bima bertanya, kedua tangannya ber tulak pinggang.
"Aman coach." Balas Dipta sembari mengacungkan jempol nya.
"Sering check up juga?"
"Sering." Sebenarnya Dipta berbohong soal itu, dia tidak pernah melakukan pemeriksaan lagi setelah 2 minggu yang lalu. Jika ia pergi ke dokter dan memeriksa seluruh tubuhnya, mungkin Dipta tidak akan ikut dalam world champions ini. Selama dia merasakan tubuhnya baik-baik saja, dia tidak akan pergi.
"Pemanasan lari dulu, Dip. Setelah lari 10 putaran, kita akan melakukan footwork untuk awal pelatihan." Coach Bima memberi arahan.
Dipta mengangguk, dan langsung mengikuti arahan dari coach Bima. Dia lari mengelilingi gimnasium, ruangan ini memang tampak sepi, namun lihat saja 1 jam nanti. Akan ada banyak atlet-atlet badminton yang akan datang dan di latih oleh coach Bima.
Dipta sudah mengelilingi gimnasium baru 7 putaran, pintu terbuka menampilkan Denis disana. Papa Dipta menghampiri coach Bima mereka saling bersalaman dan saling menepuk pundak.
"Apa kabar, pak? Sehat?" Tanya coach Bima pada Denis.
Denis— Papa Dipta tertawa renyah. "Baik coach. Bagaimana latihan Dipta?"
"Bagus. saya lihat energi Dipta masih tetap tinggi setelah istirahat 2 bulan kemarin." Jawab coach Bima.
Dipta melihat Papa nya sedang berbincang dengan coach, namun ia abaikan. Ya! Papa nya selalu datang ke tempat pelatihan hanya untuk bertanya apakah Dipta menjalani kegiatan dengan baik, dan meminta kepada coach Bima agar Dipta menampilkan yang terbaik ketika jelang pertandingan di mulai.
"Tolong coach, jangan sampai performa Dipta menurun, seperti 8 tahun yang lalu. Sebagai orang tua, kita ingin melihat anak selalu menang dan membanggakan orang tuanya. Betul begitu, coach?" Ucap Denis.
Coach Bima hanya tertawa dan membenarkan ucapan Denis. "Itu memang benar, pak. Yang penting Dipta sebagai menjalankannya harus tetap sehat-sehat aja. Dan bisa menyeimbangkan dengan tubuhnya."
Denis mengangguk setuju, kemudian dia menatap Dipta yang sedang berjalan ke arah mereka. "Dip, fokus dengan latihan kamu. Papa gak mau kamu buyar hanya karena satu hal, masa depan kamu adalah apa yang di jalani sekarang. Jangan buat Papa kecewa." Ucapnya kepada Dipta.
Dipta mendengar itu hanya mengangguk dan mengatur pernapasannya di satu waktu. "Doain aja, pa." Dia pergi dari sana, duduk di bawah dan meneguk air melepas dahaga.
Coach Bima tahu, perasaan Dipta saat ini. Anak itu tidak suka dengan ucapan Papa nya, karena kalimat yang di keluarkan bukan untuk yang terbaik buat Dipta tapi buat Denis.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILY DAILY
Teen Fiction[FOLLOW YUK, SEBELUM BACA!] -not revised yet! Dua insan ciptaan tuhan yang bertemu di situasi yang serupa, mempunyai perasaan hampa di dada. Takdir yang sama, kehilangan separuh jiwa membuat mereka terpuruk di hidupnya, dan sama-sama mengharapkan se...