BAB 23: PLACE

32 12 17
                                    

Setelah pulang sekolah, Dipta mengajak Aily ke suatu tempat. Entah tempat apa yang Dipta maksud, yang Aily tahu itu adalah tempat favorit Dipta untuk sekedar diam dan menatap langit. Aily melingkarkan tangannya di pinggang Dipta, duduk menikmati angin yang menerpa kulit wajahnya.

Dipta yang sedang mengendarai motor, merasakan betapa tenang nya hati Aily saat ini hanya melihat wajah cantik gadisnya dari kaca spion motor. Senyuman itu timbul di bibir Dipta, merekah dengan indah kala melihat rangkaian wajah Aily yang begitu sempurna kala gadis tersebut tersenyum.

Perjalanan terasa begitu amat panjang. Namun, Aily sangat tidak keberatan akan hal itu. Sekitar satu jam berlalu, suasana saat ini sungguh berbeda, yang tadinya gedung-gedung pencakar langit mereka pandangi beralih pada pohon-pohon hijau besar di sekitar mereka.

Langit mulai memunculkan warna oranye nya, dan tiba-tiba Dipta menghentikan kendaraan roda dua nya di sekitar dua pohon besar.

"Sudah sampai, turun sayang." Titah Dipta.

Aily turun dan merapihkan rok nya. "Sorry, perjalanannya jauh ya?" Tanya Dipta, tangannya sibuk bergerak melepaskan helm yang di pakai Aily.

Aily mengangguk, juga sedikit memajukan bibirnya. "Iya jauh banget, hampir satu jam lebih perjalanan."

"Pasti pegel ya?" Dipta berujar, tangannya yang tadi sibuk melepas helm, kini dia mengelus punggung gadis itu dengan lembut.

"Sedikit." Jawab Aily.

Dipta tersenyum mendengarnya. Saat itu juga, dia turun dari motor, setelah melepaskan helmnya dan setelah mengelus punggung ramping Aily. Mereka berjalan bergandengan mendekati hamparan rumput yang begitu takjub di pandang. Mata Aily saja berbinar, mulutnya terbuka. Serius, tempat ini sungguh luar biasa. Mata nya hampir berwarna hijau karna sekelilingnya benar-benar rumput dan pohon.

"Kamu suka tempat ini?" Tanya Dipta ketika melihat gadis itu takjub dengan tempat ini.

"Suka! Suka banget, gimana ceritanya kamu ketemu tempat bagus kayak gini?"

Dipta sedikit tertawa. "Panjang ceritanya."

"Sepanjang apa?" Tanya Aily polos.

"Mau denger ceritanya?" Dipta menawarkan.

Aily mengangguk semangat. Dipta mengajak Aily untuk duduk terlebih dahulu di hamparan rumput itu.

"Dulu, sewaktu umur aku 10 tahun. Hidup aku merasa hancur, karena gagal dapetin piala dari olimpiade bulu tangkis. Memang, cuma itu masalahnya. Tapi, papa aku marah, Ly. Kenapa aku bisa kalah, kenapa perfoma aku turun waktu itu saat melawan atlet yang lain. Aku selalu menang, dan membawa piala ke rumah. Namun, entah kenapa waktu itu aku bisa kalah. Disitulah papa marah sama aku habis-habisan dan untuk olimpiade lainnya menuntut aku menang, kalau sekali lagi aku kalah dalam mendapatkan piala tersebut, papa bilang masa depan aku bakal hancur." Dipta menatap langit dan menghembuskan napasnya.

Aily disana tetap diam, menunggu lanjutan kalimat Dipta. "Aku merasa terbebani dengan kalimat papa, aku keluar rumah sendiri tanpa sepengetahuan papa dan mama. Aku terus jalan kaki, gak peduli kalo banyak orang yang ngeliat aku dengan tatapan kasihan. Sejauh itu, Ly aku jalan sampai akhirnya aku nemu tempat ini. Aku duduk di sini, dengan pikiran kacau waktu itu, gimana caranya agar aku tetap menang di olimpiade kedepannya, aku nangis sesenggukan, menyalahkan diri sendiri sebagaimana papa menyalahkan aku."

Aily diam sejenak. Tidak tahu harus merespon apa, dia merasakan apa yang Dipta rasakan pada saat itu, pada umurnya yang masih dibilang anak-anak. "I'm proud of you, Dip. Kamu hebat udah melewati masa berat itu, aku tahu rasanya sekacau apa pikiran kamu, padahal usia kamu masih 10 tahun." Aily mengelus menggenggam tangan Dipta erat.

AILY DAILY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang