Chapter 24 - City Lights

11.9K 774 62
                                        

Welcome!

This story is made with love, so please respect it. Read, enjoy, and support!

Jangan lupa follow Instagram aku ya [@astihrbooks_]

ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢

Galen Mansion.

Dulu, rumah megah itu tak lebih dari istana sunyi—besar, indah, namun dingin. Setiap ruangannya memantulkan hening yang menyakitkan, setiap langkah kaki Galen di atas lantai marmer terdengar seperti gema kesepian yang tak pernah benar-benar pergi. Denting sendok dan garpu di meja makan panjang bergema begitu nyaring, menegaskan betapa hanya satu kursi yang terisi, dan betapa mewahnya makanan yang tak pernah benar-benar terasa seperti santapan.

Dinding berwarna krem terang, lampu gantung kristal, dan desain interior modern tak pernah berhasil menyingkirkan nuansa kelabu yang menyelimuti isi rumah. Warna tak selalu mencerminkan rasa—dan rumah itu, meski tampak hangat, telah lama beku dalam sunyi.

Tapi kini, seperti gua yang tersentuh cahaya bulan pertama setelah malam panjang, rumah itu mulai bernapas kembali.

Langkah kaki Galen tak lagi menjadi satu-satunya suara yang menggema. Ada langkah kecil lain kini—lebih ringan, beralas sandal berhak mungil, berjalan menyusuri lorong-lorong yang dulu terlalu sunyi untuk disapa.

Aroma parfum maskulin Galen yang dulu mendominasi ruangan, kini berpadu manis dengan harum lembut khas Ainsley. Wangi yang mengingatkan pada bunga peony yang mekar perlahan di musim semi—tenang, tapi menyihir siapa pun yang menghirupnya.

Ruang makan yang dulu hanya menjadi panggung ritual makan seorang diri, kini berubah menjadi tempat yang hidup. Dulu hanya ada Galen dan para pelayan yang berdiri kaku sambil menuangkan sup ke piring porselen. Tapi sekarang…

Di seberangnya duduk seorang wanita dengan senyum hangat dan tangan sibuk menyendokkan makanan. Bukan pelayan, bukan siapa pun yang dibayar. Tapi Ainsley—wanita yang tak hanya mengisi rumah itu dengan kehadirannya, tapi juga menghidupkannya kembali.

Dan Galen? Ia menatap wanita itu lama, seolah baru menyadari bahwa rumah bukanlah tentang tembok tinggi atau langit-langit menjulang. Tapi tentang siapa yang menunggu di seberangnya, dengan hati yang masih memilihnya—meski untuk kedua kalinya.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Ainsley, alisnya terangkat, mata hijau itu menyipit seolah mencoba mengendus maksud tersembunyi. "Cepat makan sebelum dingin. Aku yang masak ini, lho—bareng pelayan."

Galen tersenyum kecil—bukan karena melamun, tapi karena ia benar-benar menikmati pemandangan di hadapannya. Wanita itu. Duduk di meja makan miliknya, mengenakan sweater kebesaran dan wajah polos tanpa riasan. Terlihat lebih 'rumah' dari rumah itu sendiri.

"Tapi jangan terlalu capek. Doktermu bilang kamu masih harus banyak istirahat." Suaranya terdengar seperti teguran, tapi selembut belaian. Hampir seperti pujian yang disamarkan.

Ainsley mengangkat bahu sambil memotong daging di piringnya. "Memangnya aku ini sakit apa sampai harus istirahat sepanjang waktu, huh?" protesnya. Lalu potongan daging itu pun masuk ke mulutnya, mengisi pipinya seperti hamster lucu.

Galen terkekeh pelan, bukan pada ucapannya, tapi pada ekspresi menggemaskan Ainsley yang berbicara dengan mulut penuh.

"Telan dulu baru bicara," tegurnya lembut.

Ainsley memutar bola matanya dengan dramatis. Ia mengunyah cepat dan menelan paksa daging di mulutnya, seolah ingin membuktikan bahwa dia bisa bicara serius.

LOSE OR GET YOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang