Bab 1

1K 96 14
                                    

KATH

Bukannya aku telah mematikan emosiku, tetapi aku yakin sekali aku telah kehilangan rasa pada tangan dan kakiku.

Aku bisa melihat lepuhan akibat dingin pada jari-jariku di balik sarung tanganku yang robek. Begitu pula pada sela-sela jari kakiku yang tertutupi kaus kaki usang dan sepatu pria yang ukurannya terlalu besar, membuat kakiku membungkuk setiap kali aku melangkah. Udara dingin bahkan masih bisa melewati penghalang empat sweter tipis dan mantel yang ukurannya tiga kali lebih besar.

Musim salju melanda kota New York tahun ini. Aku merasa seperti manusia salju yang berjalan dengan beban pakaian yang aku kenakan. Tak satu pun terasa lembut atau cukup layak digunakan, tetapi lebih baik daripada mati karena hipotermia.

Ironis sekali kalau aku mati karena kedinginan.

Takdir juga memilih kondisi terburuk untuk menempatkanku. Di sini musim dinginnya tidak hanya dingin, tetapi juga berangin dan sangat basah. Musim panasnya juga tak tertahankan karena sangat lembap.

Siapakah aku yang bisa mengeluh? Setidaknya di sini aku bisa menyelinap di antara kerumunan tanpa diketahui.

Seolah aku tidak ada.

Ketidaktampakan adalah alat yang ampuh. Di kota yang dihuni lebih dari delapan juta penduduk, mudah bagi seseorang sepertiku untuk tidak diperhatikan.

Namun, udara dingin memaksaku untuk lebih menonjol. Saat aku berjalan di jalanan yang basah di antara ratusan ribu orang, terkadang aku mendapat tatapan aneh. Mereka tidak selalu merasa kasihan—sering kali mereka menghakimi. Aku dapat mendengar mereka berkata, "Kau seharusnya bisa melakukan hal yang lebih baik, nona muda."

Tetapi sebagian besar warga New York sudah tidak peduli lagi dengan orang tidak penting sepertiku.

Aku berusaha untuk tidak fokus pada orang-orang yang keluar dari toko roti untuk membeli makanan, tetapi aku tidak bisa mengabaikan bau harum yang tercium di sekitarku. Aku membuka mulut, lalu menutupnya seolah-olah itu bisa membuatku mencicipi makanan lezat itu.

Andai saja sekarang aku bisa makan sup hangat atau sepotong roti.

Aku menelan ludah yang terbentuk di mulutku saat memikirkan itu. Setiap kali aku kelaparan dan tidak punya makanan, aku membayangkan meja yang penuh dengan makanan lezat dan berpura-pura sedang menyantapnya. Namun perutku hanya mempercayainya selama setengah menit sebelum mulai keroncongan lagi.

Sulit untuk menipu yang satu itu.

Tapi betapapun laparnya perutku, yang benar-benar aku inginkan adalah minum alkohol lebih banyak.

Aku mengangkat kaleng bir yang dibungkus kantong kertas cokelat untuk menghabiskan isinya. Tetesan terakhir yang seharusnya cukup untuk menemani hariku pun telah hilang.

Mungkin aku harus kembali ke tempat penampungan untuk makan sepotong roti…

Aku menepis pikiran itu begitu muncul. Aku tidak akan pernah kembali ke tempat itu, bahkan jika aku harus tidur di jalanan. Kurasa aku harus mencari tempat berteduh untuk menghabiskan sisa musim dingin ini atau aku akan benar-benar mati kedinginan.

Kakiku berhenti di depan poster berbingkai yang tergantung di sisi sebuah gedung. Aku tidak tahu kenapa aku berhenti.

Seharusnya aku tidak melakukan itu.

Ini tidak biasanya.

Kali ini aku berhenti. Kaleng kosong terselip di antara jari-jariku yang bersarung tangan, melayang di udara saat aku mengamati iklan itu.

Poster tersebut ditujukan untuk Balet Kota New York, yang mengiklankan salah satu pertunjukan mereka. Seluruh poster tersebut menampilkan seorang wanita yang mengenakan gaun pengantin dan berdiri di atas pointe. Sebuah kerudung menutupi wajahnya, tetapi cukup transparan untuk membedakan kesedihan, tekanan, dan...keputusasaan.

DoppelgängerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang