KATH
"Tertangkap dia, Bos."
Aku terdiam sejenak untuk memikirkan apa arti kata-kata itu. Peran pertama dan terpenting dalam hidup adalah bertahan hidup. Aku tidak hidup untuk diriku sendiri. Aku hidup demi bayi perempuanku. Demi kehidupan yang tidak mungkin dia jalani.
Lelaki yang menangkapku bertubuh besar. Ekspresinya tegas, kasar, seolah-olah dia terlahir dengan wajah cemberut. Rambutnya pendek, berwarna pirang keputihan, dan matanya yang terang sedingin es.
Begitu dia menarikku berdiri, aku menggeliat untuk melepaskan diri dari cengkeramannya. Sambil menggeliat dan berputar, mencoba meraih tangannya. Meskipun perlawanan ini hanya sia-sia, aku bagaikan seekor tikus yang melawan kucing.
Pria itu sama sekali tidak tertarik dengan perlawananku. Aku mencoba melawan lagi dengan menginjak kakinya, tetapi dia malah mencengkeram tudung kepalaku lebih erat dan membawaku pergi. Kakiku terseret di lantai yang keras membuatku kehilangan salah satu sepatuku.
"Tolong!" teriakku sekeras-kerasnya. "Tolong—" Pria itu menempelkan tangannya yang seperti batu ke mulutku, memotong suara apa pun yang akan kubuat.
Tidak seperti bau sarung tanganku yang busuk, tangannya berbau kulit dan logam. Meskipun baunya sedikit bisa ditoleransi, tetap saja menyesakkan, seolah-olah aku dijejalkan ke tempat sempit yang tidak muat.
Anggota tubuhku gemetar memikirkan hal itu. Aku mencoba mengalihkan pikiranku darinya. Aku dibawanya ke ruangan tertutup, sangat gelap, hingga aku tidak bisa melihat tanganku sendiri. Bau pesing memenuhi hidungku dan napasku sendiri terdengar seperti monster bermata merah dari mimpi burukku yang paling mengerikan.
Aku terjebak.
Aku tidak bisa keluar.
"Keluarkan aku…" bisikku dengan suara serak putus asa. "Tolong keluarkan aku…"
"Dimana monster kecil itu?"
TIDAK!
Aku mencakar tangan yang memegangku, aku tidak akan membiarkan mereka membunuhku.
Aku harus tetap hidup.
Sebelum aku sempat memikirkan langkah penyelamatan diri selanjutnya, dia mendorongku ke bagian belakang mobil hitam itu. Begitu aku berhasil masuk ke dalam si pirang besar melepaskanku dan membanting pintu hingga tertutup.
Jari-jariku gemetar, sisa-sisa kilas balik ruang yang gelap dan sempit itu masih berputar dikepalaku. Biasanya, setelah kejadian seperti ini aku akan berlari ke ruang terbuka sampai udara membakar paru-paruku dan menghapus gambaran mengerikan itu.
Namun, tidak sekarang. Aku harus memaksa tubuhku tetap bersemangat agar aku bisa bertahan hidup.
Bertahan hidup lebih penting daripada segalanya.
Aku berusaha membuka pintu sebelum si pirang besar tadi masuk ke kursi pengemudi dan membawaku entah ke mana.
Tetapi dia tidak naik ke dalam mobil.
Sebaliknya, dia hanya berdiri di depan mobil dengan membelakangiku. Seorang pria lain bergabung dengannya dan ketika dia menoleh ke samping, aku melihat sekilas profilnya. Dia bertubuh lebih pendek dan tampak lebih muda daripada si pirang besar. Fisiknya juga cenderung lebih ramping, jasnya tidak menempel di bahunya seperti pria yang lebih besar. Dia memiliki rambut cokelat panjang yang diikat rendah, hidung bengkok yang pernah kulihat sebelumnya, tetapi di mana?
Momen itu sirna saat si hidung bengkok dan si pirang besar sama-sama membelakangiku.
Aku mencoba menarik gagang pintu, tetapi pintunya tidak mau terbuka. "Sial."
Aku tidak menyerah, kali ini aku menekan tombol untuk menurunkan kaca, tetapi kaca sialan itu juga terkunci.
"Tidak ada gunanya melawan. Simpan saja tenagamu."
Aku tersentak, gerakanku terhenti tiba-tiba. Dalam keadaan mabuk adrenalin, aku tidak menyadari bahwa ada orang lain di kursi belakang yang duduk bersamaku.
Masih memegang erat gagang pintu, aku perlahan menoleh, berharap apa yang baru saja kudengar hanyalah imajinasiku saja.
Aku sudah memikirkannya begitu lama, sampai-sampai aku mulai berhalusinasi.
Ternyata juga tidak.
Bibirku terbuka saat aku menatap tajam mata coklat pekat itu. Matanya tampak lebih gelap dari yang aku bayangkan.
Aku segera memutus kontak mata diantara kami, jika aku terus menatapnya, kulitku akan semakin merinding, kepalaku akan pusing, dan aku akan merasa ingin memuntahkan perutku yang kosong.
Dengan kakiku yang tidak memakai sepatu, aku menendang dan menarik gagang pintu sekuat tenaga. Awalnya, kupikir lelaki besar itu mungkin polisi dan akan menangkapku karena mengira aku lah yang membunuh Richard, tetapi tidak mungkin orang asing ini polisi.
Dia tidak terlihat seperti itu.
Mungkin dia mata-mata. Bisa saja aku ditangkap untuk direkrut menjadi bagian rahasia sebuah badan intelijen. Mereka akan memintaku melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk.
Ketika semua dorongan dan tarikan tidak membuahkan hasil, aku menjepit sikuku pada kaca. Rasa sakit menjalar ke seluruh lenganku, tetapi aku tidak akan berhenti, setidaknya sampai aku keluar dari dalam mobil ini.
Rasanya seperti terjebak di dalam kotak tertutup. Aku harus keluar.
Aku hendak meninju kaca itu dengan tanganku, ketika suara orang asing itu memenuhi udara, "Kacanya antipeluru, kau hanya akan melukai dirimu sendiri."
Lenganku terkulai lemas di sampingku. Aku mungkin rela mengorbankan rasa sakit, tetapi aku tidak akan melakukannya tanpa hasil.
"Sudah selesai?" tanyanya dengan nada tenang. Suaranya lembut, sehalus sutra, tetapi tetap dalam dan maskulin.
Aku tidak menatapnya dan malah bergerak ke kursi depan. Jika aku bisa membuka pintu atau keluar lewat jendela, aku akan berlari dan—
Tangan yang kuat mencengkeram pinggulku, menarikku kembali dengan mudah. Aku kini begitu dekat dengannya hingga pahanya menyentuh pahaku.
Aku berharap dia akan melepaskanku sekarang, karena dia sudah berada di sisiku, ternyata juga tidak. Pegangannya di pinggulku semakin erat, meskipun aku mengenakan beberapa lapis pakaian, aku bisa merasakan kehangatan dari tangannya. Berbeda dengan panas di dalam mobil. Ini membakar, seakan mampu merobek pakaianku dan mengenai kulitku.
Dari jarak sedekat ini, aku bisa mencium aromanya—atau lebih tepatnya aku dipaksa menghirupnya setiap kali menghirup udara.
Dia berbicara di telingaku, nadanya menurun dengan tujuan untuk menancapkan kata-kata itu di dalam benakku. "Tidak ada gunanya melawanku, karena itu hanya akan membuatmu terluka. Kau tidak sekuat yang kau pikirkan, jadi jangan buat aku kesulitan atau aku akan melemparkanmu pada kawanan serigala."
Bibirku terasa kering sepanjang dia berbicara. Dia mengeluarkan ancaman yang jelas, tetapi dia malah terdengar seperti pengacara saat menyampaikan kasus di hadapan hakim.
Dia punya cara bicara yang khas. Kata-katanya penuh pertimbangan tanpa terlihat menyolok.
"Apa yang kau inginkan dariku?" sekuat apapun aku berusaha tenang tetap saja suaraku tidak dapat berbohong. Aku benar-benar terdengar takut, aku baru saja bertemu orang ini dan dalam rentang beberapa jam, hidupku telah berubah 180 derajat.
Sampai saat ini, satu-satunya tujuanku adalah hidup, tetapi itu pun kedengarannya mustahil untuk sekarang.
"Aku punya tawaran untukmu, Katherine."
Bagaimana dia tahu namaku? Aku ingin bertanya, tapi tidak ada gunanya. Dia sepertinya tipe orang yang tahu semua hal yang perlu diketahuinya.
"Tawaran apa?"
Bibirnya menyentuh daun telingaku sambil bergumam, "Jadilah istriku."