Bab 7

187 63 36
                                    

FREEN

Tubuh Becky terkulai lemas di pelukanku, kelopak matanya tertutup rapat dan keringat membasahi pelipisnya. Aku memegang tubuhnya yang kecil saat kakinya kehilangan semua kekuatan.

Sambil meletakkan lenganku di bawah lututnya, aku mengangkatnya seperti yang kulakukan sebelumnya. Kepalanya terkulai dalam posisi yang aneh sebelum mendarat di bahuku. Bibirnya berkedut, wajahnya menjadi sangat pucat, urat-uratnya terlihat lebih jelas di balik kulitnya.

"Mommy…?"

Aku menatap Liam yang sedang memeluk tentara mainannya sambil menahan tangis. Dia seharusnya sudah tidur selarut ini, tapi dia malah di sini. Dia pasti telah menipu pengasuhnya agar bisa turun dan menemuiku. Dia sering melakukan itu beberapa minggu terakhir, ingin bertemu denganku dan mengamuk agar aku memperhatikannya.

Aku tahu persis kenapa dia bersikap seperti ini. Setelah kehilangan ibunya, dia tidak ingin kehilangan aku juga. Kadang-kadang dia menyelinap ke kamar tidurku hanya untuk memastikan aku ada di sana.

"Mommy mu baru saja tertidur Malysh." kataku dengan tenang.

"Benarkah?" Dia terisak.

"Benar."

"Tapi... Daddy bilang Mommy pergi jauh karena bekerja. Apakah ini berarti pekerjaannya sudah berakhir, Daddy?"

"Benar."

"Jadi Mommy akan ada di sini setiap hari?" Suaranya bergetar saat harapan membumbung tinggi di matanya yang membesar.

Perhatianku beralih pada tubuhnya yang tidak bergerak sebelum aku kembali fokus pada putraku. "Setiap hari."

"Daddy janji?"

"Janji. Mulai besok Mommy akan selalu menemaimu."

Dia memalingkan mukanya, sambil mendengus. "Aku tidak mau menemuinya."

"Apakah kau masih marah pada Mommy mu?"

Liam menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Mommy pergi tanpa pamit."

"Tapi Mommy ada di sini sekarang."

"Aku tetap tidak mau menemuinya." Liam melangkahkan kakinya menaiki tangga, tubuh mungilnya memancarkan lebih banyak energi daripada anak-anak yang usianya dua kali lipat darinya.

Dia jelas punya sifat pemarah seperti ibunya.

Sambil menggendong Becky, aku mendekati pintu masuk dan menekan interkom yang terhubung dengan Nick. "Masuklah dan pastikan Liam tidur."

"Ya, Tuan."

Aku membawa tubuh pingsan Becky naik ke atas menuju kamar tidur utama. Dia tidak bergerak saat aku perlahan-lahan melepaskan sepatunya. Beberapa luka menutupi pergelangan kaki, bahkan telapaknya terasa kasar saat disentuh.

Aku memegang tangannya dan menatap lepuh-lepuh yang seharusnya tidak ada. Kulitnya juga terasa sangat dingin, seolah-olah otaknya masih mengira dia tidur di jalanan, di sudut garasi parkir yang kotor.

Aku mendekatkan telapak tangannya ke mulutku, meniupnya perlahan hingga cukup hangat, lalu menyelipkannya ke bawah selimut. Sebelum meninggalkannya aku menatap wajahnya sekali lagi. "Aku akan segera kembali Lenochka."

Aku menutup pintu perlahan-lahan, memastikan tidak menimbulkan suara yang mungkin akan menganggunya.

Nick sudah menunggu di ruang tamu, berdiri dengan gelisah.

"Apakah Liam sudah tidur?"

"Ya, tapi dia terlihat stres."

"Jika kau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja Nick. Aku tidak punya waktu untuk main-main."

"Dia tampak takut setelah memberitahuku bahwa... ibunya tertidur sambil berdiri."

Setidaknya Liam percaya jika Becky benar-benar tertidur.

"Tuan."

"Apa?"

"Bolehkah aku berbicara dengan bebas?"

Aku mengangkat alis. "Kapan kau tidak melakukannya?"

"Ini tidak benar."

"Maksudmu?"

"Semua ini." Dia menganggukkan kepalanya ke arah pintu kamar tidur yang tertutup. "Dengan dia di sini. Sekarang."

"Apakah Yoshi marah padamu?"

"Tidak."

"Kau tidak perlu melindunginya Nick. Kau terlalu memanjakannya."

"Ini bukan tentang Yoshi dan kau sangat menyadari hal itu.

"Biarkan aku mengurusi hal-hal yang ada di sini sementara kau mengawasi apa yang terjadi di persaudaraan lainnya. Kita tidak boleh tertinggal."

"Kami tidak akan melakukannya, tapi dia…"

"Berhentilah membicarakannya Nick. Keputusanku sudah final."

"Dia pingsan, Tuan."

"Bagaimana kau tahu hal itu?"

"Orang tidak bisa tertidur sambil berdiri. Aku bukan Liam."

"Dia akan baik-baik saja."

"Bagaimana jika dia—"

"Nickkhun," potongku, suaraku mengeras tajam. "Berhenti mengeluh."

"Ini bisa menjadi bumerang."

"Sudah kubilang, berhentilah bicara tentang dia."

Nick menatapku dengan tatapan tidak setuju, tatapannya seakan berkata, 'kau sedang kacau dan aku menyesal berada di sisimu selama tiga puluh tahun,' tapi dia tahu untuk tidak mengujiku dalam situasi seperti ini, jadi dia mengangguk dan pergi.

Aku membuka kancing kemejaku saat berjalan kembali ke kamarku.

Ini akan menjadi malam yang sangat panjang dan menyebalkan.

DoppelgängerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang