KATH
Aku berhenti sebelum berbelok menuju tempat penampungan.
Jika sebelumnya aku mengatakan akan menghadapi iblis itu kini aku berfikir kembali. Angan-angan dan benar-benar melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Terakhir kali bertemu dia, aku mencakar wajahnya, menendang buah zakarnya, lalu mendorongnya ke tumpukan meja.
Kali ini dia mungkin benar-benar akan menangkapku dan membawaku ke kantor polisi.
Perutku yang keroncongan membuatku meringis. Ini adalah suara yang sangat mengerikan sekaligus memalukan. Aku melingkarkan lenganku di perut, seolah-olah dengan begitu rasa sakitnya akan hilang secara ajaib.
Oke, aku akan mencoba menyelinapkan sup lalu pergi. Banyak gelandangan yang tidak bermalam di sini. Mereka datang hanya untuk makan, jadi rencanaku seharusnya akan berhasil.
Aku menarik tudung kepalaku sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku, berusaha membuatnya tetap hangat.
Dua mobil polisi diparkir di depan tempat penampungan dengan lampu biru dan merah menyala. Beberapa mobil berita tersebar di sekitar gedung kumuh itu. Reporter dan juru kamera ada di mana-mana, seperti serangga yang mencari sepotong sampah untuk dihinggapi.
Jangan bilang kalau bajingan itu menelepon polisi dan media karena ulahku. Aku hanya menendangnya. Oke, aku memang mencakar wajahnya dan meninjunya juga, tapi itu untuk membela diri. Dialah yang memanggilku ke kantornya kemudian meraba-raba bagian tubuhku yang seharusnya tidak disentuhnya.
Meskipun aku gelandangan aku masih punya harga diri. Aku akan tetap melindungi diriku sendiri dari pria-pria bajingan seperti dia.
Tetapi jika aku yang menyampaikan hal itu kepada polisi atau media, mereka tidak akan percaya. Mengapa direktur rumah penampungan tunawisma yang terhormat, yang juga mencalonkan diri sebagai wali kota mau menyentuh orang yang tidak penting dan kotor sepertiku?
Aku benar-benar harus mencari tempat penampungan lain. Tetapi apakah mereka akan mengizinkanku masuk jika Richard telah memasukkan ku ke dalam daftar hitam?
Apakah cakaran, pukulan, atau tendangan yang aku berikan membuatnya menang? Biarlah, karena menendang bola kemaluannya bukanlah sesuatu yang aku sesali sedikit pun.
Sebuah kerikil menghantam kepalaku, membuatku berbalik untuk mengetahui siapa yang melemparkan itu. Saat aku menatap satu-satunya orang yang aku sebut teman di tempat terkutuk ini senyum mengembang dibibirku.
"Larry!" kataku sambil berteriak.
"Kemarilah." Dia memberi isyarat agar aku bergabung dengannya di gang kecil yang biasa digunakan untuk membuang sampah.
Aku cepat-cepat pindah ke sampingnya sambil menutup hidungku karena bau sampah. Bukan berarti aku dan Larry adalah orang yang paling wangi, mengingat waktu yang kami punya untuk mandi sangat terbatas.
Kulit kecokelatan Larry tampak lebih gelap dalam bayangan. Dia adalah pria setengah baya, usianya sekitar pertengahan lima puluhan, begitulah yang dia katakan padaku. Dia juga memiliki kerutan di sekitar matanya sebagai bukti waktu yang telah dia habiskan di bumi ini. Wajahnya tegas, tulang hidungnya menonjol karena pernah patah sebelumnya.
Dia mengenakan mantel kasmir bekas berwarna oranye terang yang dia dapatkan dari suatu badan amal. Sepatu bot dan sarung tangannya berwarna biru tua. Jelas, selera busananya lebih baik dariku.
Kami bertemu beberapa minggu lalu di salah satu stasiun kereta bawah tanah, dia berbagi makan malamnya denganku dan aku memberinya setengah dari bir ku yang berharga. Entah bagaimana kami malah menjadi sahabat karib. Satu hal yang paling aku sukai dari Larry adalah dia bukan tipe orang yang banyak bicara.