KATH
Ibuku pernah berkata bahwa cara terbaik untuk melucuti senjata seseorang adalah dengan memberi tahu mereka apa yang tidak mereka duga.
Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan orang asing ini, namun 'Jadilah istriku' tentu saja bukan jawabannya.
Butuh beberapa detik bagiku untuk terperangkap dalam keadaan kaget yang tidak dapat kuhilangkan.
Sejak aku bertemu dengannya sore tadi, dia tidak menunjukkan ekspresi apapun selain diam seperti patung. Sekarang, aku sadar kenapa aku ingin dia tersenyum sejak awal, aku ingin melihatnya sedikit lebih manusiawi, dan aku mati-matian mencari beberapa sifat manusia dalam fitur robotnya.
Namun sekarang? Dia tampak seperti tirani yang akan menyapu bersih semua yang ada di jalurnya sebelum berpindah jalur ke hal lain.
Jadilah istriku.
Kata-katanya meski diucapkan dengan tenang, meledak di kepalaku seperti kembang api pada perayaan tahun baru. Suaranya begitu keras hingga menenggelamkan pikiranku dalam kehampaan. Pikiranku terperangkap di suatu tempat yang tidak terjangkau, dalam kotak hitam yang membuatku merinding setiap kali memikirkannya.
Reaksi yang paling tepat terhadap tawarannya yang menggelikan adalah tertawa. Tapi aku tidak punya keberanian untuk itu. Dan aku menduga dia tidak akan menerimanya dengan baik jika aku entah bagaimana tertawa terbahak-bahak di depannya.
Keseriusan terukir di wajahnya, tingkah lakunya, bahkan cara dia berbicara-seolah-olah dia tidak pernah tersenyum sehari pun dalam hidupnya.
Sepertinya tindakan tersenyum akan menyinggung perasaannya.
Dia dan para lelaki di luar sana tidak normal. Aku bisa melihatnya tanpa harus tahu siapa mereka sebenarnya. Orang yang berbahaya harus ditangani dengan hati-hati, bukan dengan kekerasan, karena pilihan kedua hanya akan membuatku terluka.
"Jadi istrimu?" ulangku, nadaku rendah, namun menunjukkan ketidakpercayaan yang kurasakan.
Saat oang asing itu melepaskan pinggulku, aku bergeser ke sisi lain mobil, menjaga jarak sejauh mungkin di antara kami.
Hilangnya sentuhannya bagaikan kehilangan kehangatan di tengah badai es. Namun, aku lebih baik membeku daripada terbakar sampai mati olehnya.
"Benar." Dia mengaitkan jari-jarinya yang panjang dan terawat di pangkuan. Sedangkan aku tidak bisa jika tidak menatap cincin kawin di tangan kirinya.
"Kau sudah menikah."
Tatapannya beralih pada cincin kawinnya, seolah-olah dia lupa bahwa cincin itu sudah ada di sana sejak lama. Ekspresinya aneh. Ketika seseorang memikirkan pasangannya, biasanya mereka akan melunak karena kekaguman atau menjadi muram karena kesedihan.
Tapi dia tidak melakukan keduanya.
Bibirnya menyunggingkan senyum seram, seakan menunjukkan bahwa dia ingin melepas cincin itu lalu mengembalikan pada orang yang menyelipkan di jarinya.
Sebelum aku bisa membaca lebih jauh reaksinya, perhatiannya beralih dari tangannya padaku, emosi di matanya yang tajam menghilang seolah-olah tidak pernah ada. "Kau akan berpura-pura menjadi istriku."
"Berpura-pura?" Aku tidak tahu kenapa aku terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini.
"Istriku meninggal beberapa minggu yang lalu, dan tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan tugasnya lagi, jadi kau yang akan menjadi penggantinya."
"Oh." Aku tidak bermaksud mengatakannya keras-keras, tetapi kata itu lolos begitu saja dariku.
Aku mencoba menatapnya dari sudut pandang yang berbeda. Pada posturnya yang tegap dan percaya diri, pada pilihan pakaiannya yang gelap, pada rambut hitamnya. Dan, akhirnya pada keremangan di mata cokelatnya.