KATH
"Angkat tanganmu."
Aku menuruti perintah Freen agar dia bisa memakaikan gaun tidur sutra itu ke tubuhku. Rasanya lembut, menenangkan, tetapi masih terlalu ketat di kulitku yang sensitif.
Kami baru saja menyelesaikan sesi hukuman lainnya. Kali ini tiga kali orgasme berturut-turut karena membantahnya tiga kali.
Jumlahnya semakin berkurang selama seminggu terakhir. Mungkin suatu hari nanti, jumlahnya akan menjadi nol dan aku bisa mendapatkan hadiahku, meskipun tampaknya itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Sudah dua minggu sejak aku datang ke rumah Freen, dia tidak pernah gagal menemukan cara untuk menghukumku. Kukira aku yang kurang berhati-hati, ternyata memang dia yang tidak toleran.
Jika aku bilang 'oke', itu berarti satu hukuman.
Jika aku tanya kenapa, hukumannya menjadi dua.
Kalau aku tidak menatapnya ketika dia meniduriku dengan jari-jarinya atau dengan mulutnya, hukumannya menjadi tiga.
Kalau dia memanggilku Becky dan aku tidak segera menjawab, hukumannya menjadi empat.
Tidak akan bisa menang bila aku terus mencoba untuk melawannya.
Setiap malam setelah Liam tidur aku datang ke kamar ini dengan perasaan berdebar-debar, menantikan apa yang akan dilakukan Freen selanjutnya. Kadang-kadang, dia tidak menunggu sampai malam tiba, dia akan memanggilku ke kantornya agar dia bisa menghukumku. Kemudian dia akan mencari kesalahanku untuk memastikan tangannya sibuk sepanjang malam.
Tangan yang saat ini sedang mengancingkan bagian atas gaun tidurku. Tangan besar berurat dengan jari-jari panjang dan ramping yang membuatku tidak bisa berhenti menatapnya, bahkan jika aku ingin.
Tangan yang dapat mendatangkan kesenangan atau kesakitan—atau keduanya—tergantung suasana hati pemiliknya.
Mataku mengantuk, aku sudah kehabisan tenaga karena banyaknya orgasme yang diberikannya padaku sekaligus, tetapi aku tetap duduk di depan meja rias sementara Freen berlutut di hadapanku.
Meskipun dia sedang berlutut, gerakannya tidak mengurangi kekuatannya. Dari cengkeramannya padaku—setidaknya secara fisik.
Hanya secara fisik.
Dia baru saja selesai memandikanku. Sejak hukuman di kantornya, dia terbuka dengan keperduliannya kepadaku. Dia menyabuni seluruh tubuhku bahkan mencuci rambutku juga. Ada momen ketika kakiku tidak sanggup menopang tubuhku, aku duduk di lantai kamar mandi. Freen dengan senang hati berlutut di belakangku, tangannya berada di sekujur tubuhku—di bahuku, punggungku, di antara kedua kakiku, dan mengusap bekas luka kelahiran.
Itu terlalu berlebihan. Aku tidak ingin dia peduli padaku seperti ini. Aku tidak suka diperhatikan. Itu membuatku merasa lemah—lebih lemah dari situasi yang telah kuhadapi. Dan aku benar-benar tidak ingin Freen melakukannya. Karena dia tidak tulus. Atau mungkin dia tulus, tetapi tidak terhadapku.
Tetapi pada istrinya.
Sekarang, dia mengenakan celana olahraga dan kemeja hitam. Namun aku masih bisa mengingat lengannya yang penuh dengan tato, meskipun aku tidak dapat memahami makna di balik sebagian besar tatonya. Ada juga gambar kompas di lengan bawahnya. Gambar burung terbang di atas bahunya. Lalu ada gambar bunga berdarah di tengah gambar peta rumit yang tampaknya bukan peta dunia. Mungkin itu peta negara Rusia.
Aku jadi ingin tahu apa yang dipikirkannya saat dia membuat tato itu.
Tapi kenapa aku harus bertanya? Aku bukan siapa-siapa bagi orang ini. Aku hanya pengganti.
