Vote + Komen + Jangan Lupa Follow
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***
Hari itu suasana Hogwarts tampak ricuh, Siswa-siswi tengah sibuk berkemas dan berpamitan satu sama lain sebelum kembali ke rumah masing-masing untuk menikmati liburan. Di tepi danau, seorang gadis berambut pirang duduk sendirian, menikmati sinar matahari yang cerah. Angin sepoi-sepoi yang berhembus lembut menerpa rambutnya, dan matanya yang dingin menatap air yang berkilauan di permukaan danau.
Meskipun dari luar ia tampak tenang, pikirannya berkecamuk. Terbayang di benaknya kejadian-kejadian yang baru saja dialaminya. Semua itu terasa seperti mimpi yang nyaris tak mungkin, tetapi semuanya nyata. Dan kenyataan itulah yang kini menimbulkan konflik dalam hatinya.
Sebagai seorang Malfoy, ia selalu diajari bahwa Sirius adalah pengkhianat keluarga, seorang kriminal yang tak pantas hidup bebas. Tapi, setelah malam itu, dirinya mulai meragukan semua yang selama ini ia percayai.
Pikiran gadis itu kembali melayang ketika ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia menoleh dan melihat saudaranya, yang berjalan mendekatinya dengan tatapan menyelidik. Kakaknya itu tampak tidak puas, dan wajahnya penuh kecurigaan. Draco menyilangkan tangan di dada, berdiri di samping Diana sambil menatapnya dengan tajam.
"Dee," katanya pelan namun tegas, "ke mana saja kau akhir-akhir ini? Kau kelihatan... berbeda."
Diana menarik napas dalam-dalam, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ia sudah menduga bahwa Draco akan memperhatikan perubahan sikapnya. "Aku hanya ingin menikmati hari-hari terakhir di Hogwarts sebelum pulang ke rumah. Tidak ada yang aneh."
Draco mengernyit, jelas tak puas dengan jawaban singkat itu. "Kau jadi lebih banyak menyendiri belakangan ini. Aku bahkan hampir tak pernah melihatmu mengganggu orang-orang Gryffindor. Kau tidak berpikir untuk bergaul dengan mereka, kan?" Nada suaranya sinis, seolah-olah membayangkan adiknya mendekati Harry Potter adalah sebuah penghinaan.
Diana tersenyum tipis, berusaha terdengar biasa saja. "Tidak, Dray. Aku hanya sedang butuh waktu untuk sendiri. Kadang-kadang, bukankah kita semua begitu?"
Draco menghela napas pelan, matanya tetap penuh curiga. "Tidak, kita tidak semua begitu. Kita ada di sini untuk menunjukkan bahwa kita adalah yang terbaik, Dee. Bahwa keluarga Malfoy adalah keluarga terhormat yang tak akan pernah setara dengan mereka."
Diana hanya mengangguk pelan. Meski ia mendengarkan, pikirannya jauh dari ucapan Draco. Ia mulai merasa bahwa kebanggaan dan status keluarga bukanlah segalanya, bahwa ada hal-hal lain yang lebih berarti. Malam itu, ketika ia bersama Harry dan Hermione, menyelamatkan seorang pria tak berdosa dan membebaskan Buckbeak, ia merasa telah melakukan sesuatu yang benar.
Perasaan itu memberinya kekuatan, tetapi juga kebingungan. Apa yang ia lakukan melawan semua yang selama ini diajarkan keluarganya.
Draco, yang masih menatap Diana, akhirnya membuka suara lagi. "Ayah akan menjemput kita di Stasiun King's Cross nanti. Dia bilang kita harus pulang lebih awal. Ada hal-hal penting yang akan terjadi, dan Ayah bilang kita harus siap."
Diana menoleh pada Draco, mendapati wajah kakaknya yang tampak bersemangat. Ia tahu betul bagaimana Draco memandang ayah mereka sebagai seorang pria yang dihormati sekaligus ditakuti di dunia sihir. Baginya, semua yang dikatakan ayah mereka adalah kebenaran mutlak.
Tapi setelah semua yang dialami Diana tahun ini, ia mulai meragukan kesempurnaan figur ayahnya.
"Baguslah," ujar Diana singkat, mencoba menyembunyikan perasaan sebenarnya. "Aku yakin Ayah punya banyak hal yang ingin dibicarakan." Diana berusaha menjaga nada suaranya tetap netral, meski hatinya dipenuhi perasaan yang tak karuan. Di dalam dirinya, ia tahu bahwa sikapnya ini adalah tameng, perlindungan dari dunia yang mungkin takkan mengerti pilihannya.
Sementara mereka duduk dalam diam, Draco mengamati wajah Diana, masih tampak sedikit tak percaya dengan jawaban-jawaban yang diberikan adiknya. "Ingat Dee, sebagai seorang Malfoy, kita harus tetap menjaga martabat keluarga. Tidak ada alasan untuk bergaul dengan... orang-orang seperti Potter dan teman-temannya."
Diana hanya tersenyum kecil, menahan diri agar tidak berkomentar. Sebagian dari dirinya ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia melihat sisi lain dari dunia yang Draco tak pernah tahu. Bahwa ia telah melihat betapa pentingnya rasa kemanusiaan, bahkan ketika harus mempertaruhkan segalanya.
Setelah beberapa saat, Draco akhirnya berdiri, lalu menatap Diana dengan sikap sedikit santai. "Baiklah. Jangan terlalu lama di sini. Kastel hampir kosong. Ayo kita kembali."
Diana mengangguk tanpa banyak bicara. Draco kemudian berbalik dan meninggalkannya di sana, berjalan kembali menuju kastel. Diana menunggu hingga sosok kakaknya menghilang, lalu ia memandangi danau sekali lagi, membiarkan pikirannya melayang.
***
Akhir dari tahun ketiga
•
••
•••
•••••
••••••
•••••••
••••••••
•••••••••
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifier | 𝐆𝐨𝐥𝐝𝐞𝐧 𝐭𝐫𝐢𝐨 𝐞𝐫𝐚
FanficA STORY BY LYYNOWL {golden trio era} Sejak tahun pertama di Hogwarts, Harry Potter dan Diana Malfoy telah terjebak dalam permusuhan yang diwariskan oleh keluarga mereka. Diana, saudara kembar Draco, sama licik dan sombongnya, selalu menjadi musuh Ha...