31. Awal Sebuah Cerita

117 23 13
                                    

Vote + Komen + Jangan Lupa Follow
.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

***

Ruang rekreasi Slytherin selalu penuh dengan atmosfer dingin namun menenangkan. Dinding batu yang dipenuhi lilin, lampu hijau dari perapian, dan sofa empuk menciptakan tempat perlindungan bagi para siswa Slytherin untuk bersantai dan berdiskusi.

Malam itu, topik utama adalah Turnamen Triwizard, dengan Diana Malfoy duduk di tengah kelompok, mendominasi diskusi seperti biasanya.

Rambut pirangnya jatuh sempurna di bahunya, matanya yang tajam memperhatikan teman-temannya, sementara senyumnya memperlihatkan rasa percaya diri yang khas seorang Malfoy. Di dekatnya, Pansy Parkinson berceloteh tanpa henti, sementara Blaise Zabini sesekali menimpali dengan komentar sarkastis.

Draco Malfoy, sang kakak, berdiri di depan perapian dengan tangan disilangkan. "Jelas sekali Hogwarts tidak punya peluang. Diggory? Apa yang bisa dilakukan Hufflepuff? Mereka bahkan tidak bisa melindungi Niffler dari bahaya!"

“Tentu saja kau akan berkata begitu, Dray,” jawab Diana sambil menyilangkan kaki, suara lembutnya memotong suasana. “Tapi fakta bahwa Diggory terpilih menunjukkan dia lebih dari sekadar siswa biasa. Jangan remehkan lawanmu hanya karena mereka tidak berasal dari Slytherin.”

Draco menatap adiknya dengan tatapan tajam. “Jadi sekarang kau membela Diggory? Apa berikutnya? Potter?”

Diana tertawa kecil, membuat mata Theodore Nott, yang diam di sudut ruangan, tak lepas darinya. Theo, seperti biasa, tidak ikut larut dalam diskusi. Dia lebih suka mengamati dari jauh, meski malam itu, perhatiannya hampir sepenuhnya tertuju pada Diana. Ada sesuatu tentang cara gadis itu berbicara—percaya diri, dengan kesombongan yang khas—yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan.

“Tidak ada yang membela Potter,” Diana melanjutkan, matanya kembali pada Draco. “Aku hanya mengatakan bahwa menyebut Diggory lemah adalah kesalahan. Kau tahu itu.”

Draco mendengus, memilih untuk tidak membalas. Dia melirik Theodore, yang berdiri dengan santai di dekat rak buku. “Kau setuju dengan adikku, mate? Kau juga menganggap Diggory seorang pesaing yang layak?”

Theodore mengangkat bahu, wajahnya tetap tenang. “Aku tidak pernah memandang rendah orang lain, Drake. Kau tahu itu. Prefect Hufflepuff itu mungkin lebih kuat daripada yang kau kira.”

Draco memutar matanya dengan gerakan dramatis. “Tentu saja kau akan mengatakan itu. Kau terlalu suka menjadi netral, Itu melelahkan.”

Theodore tidak menjawab. Dia hanya mengarahkan pandangannya pada Diana, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Bagaimana denganmu, Diana? Kau tampaknya selalu punya pendapat yang menarik.”

Sacrifier | 𝐆𝐨𝐥𝐝𝐞𝐧 𝐭𝐫𝐢𝐨 𝐞𝐫𝐚 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang