****
Setiap kali membahas masa lalu, Kara selalu merasa luka-luka itu tidak pernah benar-benar pergi. Derita itu masih ada, membekas, seakan tak ingin hilang dari hidupnya. Kini, orang-orang yang pernah menjadi sumber rasa sakitnya justru mengelilinginya, mengurungnya dalam sebuah ikatan yang disebut keluarga.
Kara tahu, seharusnya hatinya ia buka selebar-lebarnya untuk memaafkan. Namun, bagaimana bisa? Ketika rasa sakit itu masih begitu nyata. Ketika hatinya belum sanggup, belum siap, untuk menerima dan mengampuni apa yang telah terjadi.
“Mami ngomong apa aja, Ra?” suara Deka memecah lamunannya. Namun, alih-alih menjawab, Kara tetap diam, air mata mengalir deras di wajahnya.
“Ra?” Deka menatapnya, terkejut melihat air mata yang mengalir tanpa henti. Ia berjongkok di hadapan Kara, menatapnya dengan cemas. “Kenapa, Ra? Apa Mami yang bikin kamu nangis gini? Mami bilang apa?”
Kara tergugu, suaranya tertahan di tenggorokan. Setiap kata terasa begitu berat untuk keluar, terlalu sakit untuk diungkapkan. Deka berdiri, bersiap meninggalkan ruangan.
“Kalau Mami yang bikin kamu nangis, biar aku yang bicara sama dia,” katanya tegas, tapi tangan Kara langsung menahannya. Ia menggenggam lengan Deka erat-erat, menggeleng pelan.
“Enggak,” bisik Kara, suaranya nyaris tak terdengar. “Mami kamu enggak salah.”
Deka terdiam sejenak, menatap Kara dengan pandangan tak percaya. “Terus kenapa kamu nangis?” tanyanya lembut.
“Mami kamu... minta maaf,” lirih Kara.
Kali ini Deka benar-benar terdiam. Tubuhnya seolah membeku di tempat, tak mampu bergerak. Perlahan, ia duduk di samping Kara, kepalanya tertunduk, matanya terpaku pada lantai.
“Mami kamu minta maaf untuk semua luka, sakit, dan penderitaan yang aku alami selama ini. Tapi…” suara Kara pecah di tengah kalimat, air matanya semakin deras. “Ta-tapi aku enggak bisa, Ka. Sakit... Sakit banget! Aku tahu aku jahat, tapi rasanya... sampai mati pun aku enggak akan bisa maafin semuanya. Aku udah terlalu banyak merasakan sakit dan penderitaan. Hidup aku udah hancur sehancur-hancurnya. Maaf dari Mami kamu... itu enggak cukup, Ka. Enggak akan pernah cukup.”
Deka mengangkat wajahnya, matanya memerah mendengar setiap kata Kara.
“Ra…” panggilnya pelan, tapi Kara memotongnya.
“Aku tahu aku jahat, Ka. Tapi apa salahnya sekali aja jadi orang jahat? Apa salahnya aku membenci semua ini, membenci hidup aku yang sudah hancur karena kalian?” Kara menatap Deka dengan mata yang basah dan penuh rasa sakit. “Apa salahnya kalau aku Cuma ingin marah?”
Tanpa berkata apa-apa, Deka mendekap Kara erat-erat. Tangannya menggenggam punggung Kara seakan takut ia akan hancur lebih jauh lagi.
“Enggak, Ra…” suara Deka bergetar. “Kamu enggak jahat. Aku yang jahat. Aku yang salah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams 2
ChickLitMelewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku. Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...