Kembali ke Jakarta setelah sepuluh tahun, bukanlah langkah yang mudah. Kota ini bukan sekadar tempat, tapi juga ruang kenangan yang menghimpit. Setiap sudutnya membangkitkan dosa-dosa lalu, memenuhi napas dengan sesak.
Setiap sudut kota Jakarta mengingatkanku dengan semua perbuatan buruk yang pernah aku lakukan di masa lalu. Bayangan Kara yang matanya berurai air mata memenuhi kepalaku, mengingatkan akan rasa penyesalan yang terus menggerogoti hatiku.
Mataku melirik ke luar jendela tak kala mobilku melewati sebuah bangunan klinik yang sangat aku kenal tepat di depanku. Bangunan itu menjadi salah satu saksi bagaimana aku membunuh janin tidak bersalah demi dendam yang salah. Rasa bersalah memeluk erat hatiku, menyiksaku dengan kepiluan yang tak berkesudahan.
Lamunanku buyar tak kala ada suara ketukan pada kaca mobilku, aku menatap ke depan dan menyadari kalau saat ini mobil yang ku tumpangi berhenti di persimpangan lampu merah.
Samuel menatap ke arahku, “Biar saya yang mengusir anak kecil itu Pak.” Aku lekas menggelengkan kepalaku saat melihat sepasang anak kecil berdiri di samping mobilku, “Biar saya saja.” Ucapku.
Begitu kaca jendela aku buka, terlihatlah sepasang anak kecil yang menatapku dengan senyuman teramat lebar.
“Om, mau beli koran?” tanya anak laki-laki itu masih dengan senyum yang setia di wajahnya.
“Berapa?” tanyaku.
“Dua ribu, Om.”
Aku terdiam melihat anak itu yang masih saja tersenyum. Apakah dua ribu itu sangat banyak sampai membuat bibirnya tidak henti tersenyum? Aku punya banyak uang tapi, kenapa sulit untukku bisa tersenyum setulus itu?
“Nama kamu siapa?” tanyaku penasaran.
“Aku Dika, Om,” ucap sang anak, memperkenalkan dirinya dan adiknya, Nara. Mereka mengingatkanku pada janin yang kusia-siakan. Seandainya aku menyadari kesalahan itu lebih awal, mungkin mereka sudah sebesar anak-anak ini.
“Kalian enggak sekolah?”
“Sekolah, tapi hari ini libur soalnya sepatu kita rusak, Om.”
Aku menatap iba kepada kedua anak itu, “Orang tua kalian mana?”
Dika tersenyum menatap ke arahku, “Bapak udah meninggal dan Ibu lagi sakit, Om. Jadi aku yang ganti-in Ibu buat kerja.”
Bukankah takdir begitu kejam untuk anak sekecil ini? Dengan nasib yang begitu kejam, apa yang membuat anak kecil ini masih bisa tersenyum?
“Om mau beli semua korannya, berapa?”
Kedua anak kecil itu saling pandang dan kian tersenyum lebar menatap ke arahku.
“Seratus ribu, Om.” Jawabnya dengan nada yang teramat ceria.
Aku membuka dompetku dan memberikan sepuluh lembar uang berwarna merah kepada Dika. Seketika saja wajah Dika tampak terkejut dengan uang yang aku berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams 2
ChickLitMelewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku. Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...