****
Setelah menghabiskan malam di rumah Raident dan Aileen, pagi ini aku menyampaikam keinginanku untuk mengantar Gaby yang tentunya di sambut dengan bahagia oleh bocah itu. Sejak berhasil mendapatkan mainan yang di inginkannya itu, Gaby meminta untuk tidur denganku setelah aku menemaninya bermain.
Hal itu tentu saja sempat di tentang oleh Raident namun, pada akhirnya pria itu kalah beradu argumen dengan putrinya sendiri. Aku bahkan masih ingat bagaimana wajah Raident yang hanya bisa mengangguk pasrah pada akhirnya. Bocah kecil yang sedang duduk tenang di sampingku ini memang luar biasa.
“Nanti Uncle harus anterin Gaby sampai kelas.”
“Kenapa?” tanyaku.
Bocah itu melempar tatapan kesal kearahku. “Masa Uncle gak tau? Gaby kan mau pamer sama temen-temen semuanya kalau Gaby punya Uncle yang baik, ganteng dan banyak uang.”
Aku hampir tidak bisa menahan tawaku. “Kenapa enggak kenalin Papi aja?” tanyaku dengan rasa penasaran.
Gaby menunjukkan raut wajah yang semakin kesal. “Papi mah bisanya cuma bikin Gaby malu aja Uncle. Papi kan pernah tuh antar Gaby ke sekolah tapi wajahnya Papi cuma gini...” Gaby memelototkan matanya dan mencoba memberi tatapan tajam walaupun hanya membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
“Temen-temen Gaby takut semua, sampai Miss Gaby aja takut. Uncle mau tau gak, bagian yang paling buat Gaby malu?” aku menganggukkan kepala dan gadis kecil itu kembali berseru. “Miss sampai mohon sama Gaby kalau Papi jangan sampai datang ke sekolah lagi gara-gara Papi tuh selalu pasang wajah serem di depan Miss. Setiap kali Miss kasih undangan orang tua untuk Gaby pasti isi suratnya cuma di tulis Ibu aja. Biar Papi enggak datang lagi.”
Kedua bibirku aku lipat ke dalam saking tidak kuat menahan kedutan tawa yang ingin pecah. Bagaimana bisa gadis kecil itu begitu lucu dan menggemaskan di saat yang sama?
Namun, di saat yang sama senyumku surut begitu saja. Dengan pelan ku usap kepala Gaby yang memasang raut kesal. Seandainya saja aku lebih cepat sadar dan lebih menghargai orang-orang di sekelilingku mungkin hidupku sudah lebih baik dari sekarang.
Kepalaku lagi dan lagi di penuhi oleh bayang-bayang masa lalu tentang Kara. Bagaimana bisa aku melukai dan menyakitinya begitu dalam? Aku menyesali masa-masa dimana aku begitu sulit untuk memaafkan dan mendendam pada orang yang tidak salah.
Kalau saja aku lebih pemaaf, kalau saja aku bisa berpikir lebih jernih mungkin aku tidak akan pernah meminta Kara untuk menggugurkan janinnya dan mungkin saja Kara masih ada di sini.
“Uncle...”
Lamunanku buyar saat mendengar dan merasakan sentuhan Gaby pada lenganku. “Uncle kenapa?” tanya gadis kecil itu.
Aku menggelengkan kepala sambil melebarkan senyum agar Gaby tidak merasa curiga. Untung saja tidak lama setelah itu, mobil yang aku kendarai sampai juga di sekolah Gaby. Ketika menoleh ke arah Gaby, aku baru sadar kalau gadis kecil itu terus memperhatikanku sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams 2
Chick-LitMelewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku. Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...