****
Rasa rindu yang begitu dalam sering kali terasa menyesakkan, dan Kara merasakannya dengan segenap jiwa. Ia berulang kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia telah ikhlas, bahwa ia telah merelakan Damian pergi. Namun, benarkah ia sanggup? Setiap hari, ia terus mengulang janji pada dirinya untuk menjalani hidupnya dengan baik, tetapi di setiap detik yang kosong, hati Kara justru terasa semakin hampa. Tak seharusnya ia merasa begitu kehilangan, begitu terluka, namun perasaan memang tak pernah semudah itu untuk dikendalikan.
Damian bukan sekadar suami bagi Kara—dia adalah seluruh dunia bagi wanita itu. Damian adalah cinta, keluarga, dan juga teman hidup, tempat ia bisa melabuhkan segala keluh kesah dan cerita. Damian adalah ayah dari anak-anaknya, sosok yang selalu ada ketika Kara butuh dukungan atau sekadar rangkulan hangat. Lalu, bagaimana mungkin Kara bisa merelakan begitu saja? Bagaimana mungkin ia mampu menjalani hidup tanpa bagian terpenting dari dirinya?
Di tengah keheningan kamar yang redup, Kara mengingat kembali percakapan lama mereka. Bayangan Damian seolah muncul di benaknya, dengan suara yang lembut tetapi penuh wibawa.
“Kenapa Tuhan jahat sama aku?” kata Kara waktu itu, sambil menyeka air mata.
“Jahat?” Damian bertanya, menatap Kara dengan penuh perhatian.
“Iya. Tuhan ambil Papa dan Mama aku, Dami. Tuhan biarin aku sendirian di sini,” lirih Kara, suaranya bergetar, sesenggukan di antara kata-kata yang tertahan.
Damian hanya menatap Kara dalam-dalam, kemudian meraih tangan Kara, menggenggamnya erat. “Kara, pernah nggak kamu coba jujur sama dirimu sendiri?”
Kara menggeleng pelan, pandangannya tertunduk lemah. “A-aku selalu rindu sama Papa dan Mama,” katanya, hampir berbisik.
Damian menepuk lembut pundaknya, berkata penuh ketulusan, “Kara, setiap orang punya masanya, baik itu pertemuan atau perpisahan. Papa dan Mama kamu nggak pernah kemana-mana, mereka selalu ada di hati kamu, melindungi kamu. Mereka tetap di sana, Cuma masa kalian untuk bersama sudah habis.”
Damian menatapnya lagi, kali ini dengan sorot penuh kasih. “Dan Ra, jangan pernah membenci atau menganggap Tuhan jahat. Sesulit apa pun ikhlas itu, sesesak apa pun rindu, asal kamu ingat kalau Tuhan ada di hati kamu, semuanya akan baik-baik saja.”
Kata-kata itu menggema dalam hati Kara, seolah-olah Damian masih di sini, mengajarinya untuk tetap tegar. Tapi kali ini, ketika rindu begitu pekat hingga hampir melumpuhkannya, Kara merasa seluruh dunia seakan runtuh. Namun, demi Launa, demi Damian yang tak pernah ingin ia kecewakan, Kara menarik napas panjang dan mencoba sekali lagi untuk berjuang.
Di saat Kara tenggelam dalam kenangan itu, samar-samar terdengar suara yang memanggilnya. “Bu... Bu...!”
Lamunan Kara buyar seketika. Ia terdiam, berusaha memastikan apakah itu hanya suara yang ia bayangkan, ataukah memang ada yang memanggilnya. Suara itu kian jelas, semakin dekat, hingga akhirnya terdengar ketukan keras di pintu kamar. Suara ketukan itu disusul oleh panggilan penuh kepanikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams 2
Literatura FemininaMelewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku. Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...