20. Please, love me again!

290 14 1
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir, setelah semua lika-liku hidup dan kerumitan yang ia alami, Kara bisa merasakan setitik cahaya terang di ujung perjalanan yang panjang ini. Hari itu, di pengadilan, diputuskan bahwa hak asuh Raden, putra yang selama ini ia rindukan, jatuh ke tangannya.

Beberapa bulan sejak pernikahannya dengan Deka, Kara sering mempertanyakan keputusannya, meragu, bertanya-tanya apakah semua itu sepadan. Namun, kini, dalam pelukan hangat Deka yang mendampingi sejak sidang dimulai, semua ketidakpastian itu luruh. Ia tak bisa lagi menahan isak syukur, yang tumpah saat keputusan akhir dibacakan.

Deka merangkulnya erat, membisikkan kalimat yang penuh ketulusan, “Kamu sudah berjuang dengan luar biasa, Ra. Sekarang… waktunya memeluk Raden lagi.”

Kara mendongak, menatap wajah suaminya yang kini dipenuhi senyum lembut. Ada kelegaan, kehangatan, yang entah sudah berapa lama tidak ia rasakan. Di sela-sela tangisnya, Kara membalas dengan senyuman tulus, senyuman yang bahkan belum pernah ia tunjukkan sejak pernikahannya dengan Deka. Dengan tatapan penuh dorongan dari Deka, Kara akhirnya melangkah ke luar ruangan pengadilan untuk menyambut anaknya.

Di sana, tak jauh dari pintu, seorang anak laki-laki berdiri. Raden. Putranya yang sudah hampir enam bulan ini tidak pernah ia lihat, kini ada di hadapannya, masih dengan wajah polos yang selalu Kara ingat. Jantung Kara berdebar kencang, ada perasaan haru yang menyesakkan, seakan dunia ini berputar dalam gerak lambat hanya untuk mereka.

Dengan gemetar, Kara membuka kedua lengannya lebar-lebar. “Raden... sayang…” suaranya lirih, penuh dengan getaran kerinduan.

Raden tampak memandang Kara dalam diam, ragu dan kaku. Senyuman Kara perlahan memudar, karena Raden tidak segera menyambut pelukan itu. Raden hanya berdiri mematung dengan wajah tanpa ekspresi. Tatapannya kosong, dan senyuman yang biasanya mudah muncul di wajahnya kini tak terlihat. Kara merasa ada yang berbeda—seperti ada sesuatu yang hilang dari anak kecil di hadapannya.

“Sayang… kenapa?” Kara mendekat, mencoba menyentuh bahu kecilnya. “Cerita sama Mama, Nak… Jangan pendam sendirian...”

Kata-kata itu seolah membuka bendungan emosi dalam diri Raden. Tiba-tiba, tangisnya pecah. Kara segera memeluk tubuh kecil itu erat-erat, membiarkannya tenggelam dalam pelukannya. Raden mencengkeram baju Kara, seperti anak yang tersesat yang akhirnya menemukan jalan pulang. Tangannya bergetar, tubuh kecil itu seolah menanggung beban yang terlalu berat untuk anak seusianya.

“O-opa bilang...” Suara Raden tersendat-sendat, terselip isak yang membuat kalimatnya terputus-putus, “Opa bilang... Mama udah nggak sayang lagi sama Raden... Katanya... M-mama ninggalin Raden... karena nggak... nggak mau sama Raden lagi…”

Kata-kata Raden menghujam hati Kara. Setiap ucapan anaknya seperti duri tajam yang menggores hatinya, merobek semua pertahanan yang ia coba bangun. Kerongkongannya tercekat, ia merasa seluruh dunia runtuh saat mendengar kalimat itu.

Shattered Dreams 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang