26. Desakkan

63 7 1
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

Adjie Wirakusuma, kaki tangan, orang kepercayaan, sekretaris, sekaligus asisten pribadi Clando Bulaleno, adalah sosok yang mengintimidasi sekaligus dihormati. Pria yang sudah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya mengabdi kepada Clando Bulaleno ini menyimpan banyak rahasia. Tak ada yang tahu seberapa banyak informasi sensitif yang ia genggam. Namun, satu hal yang jelas: Adjie adalah benteng tak tergoyahkan bagi sang penguasa.

Di usia 58 tahun, tubuh Adjie masih tegap, tingginya menjulang, dengan tatapan tajam yang mampu membuat siapa saja merasa kecil. Adjie terkenal tidak pernah tersenyum. Wajahnya dingin dan keras seperti batu. Ketika ia berjalan melewati orang-orang hari ini, sendirian tanpa sang atasan di sisinya, semua yang melihatnya menundukkan kepala dalam-dalam, termasuk Samuel.

Samuel, putra Adjie sendiri, berdiri tegang saat ayahnya mendekat. Meski darah yang mengalir di tubuh mereka sama, hubungan mereka di tempat kerja selalu profesional. Tidak ada celah untuk sentimen pribadi.

“Apakah tuan muda ada di dalam?” suara bariton Adjie terdengar tegas, tanpa sedikit pun goyah.

Samuel mengangguk dan membuka pintu ruang kerja dengan gerakan hati-hati. “Ada, Papa. Silakan masuk.”

Adjie melangkah masuk, langkahnya mantap dan penuh wibawa. Di dalam ruangan, Deka sedang sibuk menatap layar laptopnya.

“Selamat siang, Tuan Muda Deka,” sapa Adjie dengan nada datar.

Deka mendongakkan kepala, menatap pria paruh baya itu dengan bingung. Jarang sekali Adjie datang mencarinya, apalagi tanpa peringatan.

“Selamat siang, Pak Adjie. Ada apa ya?” tanya Deka, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.

Adjie berdiri tegap di depan meja Deka, menatapnya dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. “Presdir meminta Anda untuk segera menghadap beliau.”

Kening Deka berkerut. “Papa? Apa ada masalah, Pak Adjie?” tanyanya, mencoba mencari tahu.

“Bukan otoritas saya untuk menyampaikannya. Anda bisa bertanya langsung kepada Presdir saat bertemu dengannya,” jawab Adjie dengan nada dingin yang tak memberi ruang untuk spekulasi.

Firasat buruk perlahan menyelinap ke pikiran Deka. Ada sesuatu yang terasa tidak biasa. Biasanya, Clando Bulaleno jarang meminta pertemuan mendadak seperti ini, apalagi mengirimkan Adjie secara langsung.

“Baik, saya akan segera ke sana,” kata Deka sambil menutup laptopnya, kemudian berdiri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegelisahan yang mulai muncul. “Ayo, kita pergi sekarang.”

Adjie mengangguk singkat, langkahnya tetap tenang dan mantap saat meninggalkan ruangan. Deka mengikutinya dari belakang, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab.

Di luar, suasana kantor terasa begitu hening. Langkah Adjie yang tegas dan berwibawa membuat orang-orang yang kebetulan melihat langsung menundukkan kepala, memberi hormat. Deka hanya diam, sesekali melirik pria paruh baya itu, berharap mendapatkan petunjuk dari sikap atau gerak-geriknya. Namun, seperti biasa, Adjie terlalu ahli menyembunyikan emosi.

Shattered Dreams 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang