22. Hampa tak berujung

79 7 2
                                    

Meski Launa bukan darah dagingnya, Deka mencintainya sepenuh jiwa, seolah-olah ia adalah anak kandungnya sendiri. Rasa sayang yang ia rasakan jauh melampaui segala pertimbangan logika. Jika bisa, Deka rela menukar posisi dengan Launa. Jauh lebih baik baginya untuk merasakan setiap sakit yang dirasakan gadis kecil itu daripada harus melihat Launa tergolek lemah dengan tubuh mungilnya dipenuhi alat-alat medis yang tampak begitu besar dan asing di atas tubuhnya.



Dalam hati yang kalut, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Deka yang selama ini ragu akan keberadaan Tuhan, mendadak memejamkan mata. Suaranya bergetar, tak terdengar, namun sarat dengan harapan yang mengoyak seluruh keangkuhannya. Tuhan... Jika Kau ada, dengarkan permintaanku kali ini. Aku mohon, beri kesembuhan untuk Launa. Izinkan dia sehat dan bertumbuh dengan baik. Jika ada yang harus menderita, aku saja. Limpahkan rasa sakit itu kepadaku. Tanpa terasa, air mata mengalir di sudut matanya, jatuh dalam keheningan yang hanya dipenuhi oleh suara monitor yang berdetik.



"Papi..."



Mata Deka terbelalak, suaranya seperti datang dari kejauhan. Ia menoleh dan melihat sosok kecil dengan wajah riang. Raden, dengan senyum cerah dan tatapan penuh cinta, berjalan mendekat diikuti oleh Samuel yang tampak cemas, seakan takut mengganggu.



"Maaf, Pak. Den Raden ingin bertemu Bapak." Samuel menjelaskan dengan nada ragu.



Deka menganggukkan kepala pelan, memberi isyarat pada Samuel untuk kembali pada tugasnya. Melihat Raden berjalan ke arahnya, wajah Deka perlahan melunak. Senyum yang tadi terhalang kegundahan kini mengembang dengan sendirinya saat ia meraih bahu Raden, membiarkan anak itu duduk di sampingnya.



"How is Raden's school today? Is it good?" tanya Deka lembut, tangannya dengan penuh kasih mengusap rambut Raden yang lembut. Ada kehangatan di balik gerakan tangan itu, kehangatan yang perlahan mengusir sedikit demi sedikit awan kelam dalam hatinya.



Raden mengangguk riang, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang murni, "Good, Papi. Tadi Raden ketemu banyak teman baru, dan Raden suka sekolahnya!" Ucapannya penuh antusias, mengingatkan Deka akan kepolosan yang kini mulai hilang dari hidupnya, tertelan oleh kebencian dan ketakutan.



Melihat senyum Raden yang tulus, hati Deka terasa terenyuh. Anak itu, yang kini memanggilnya Papi, seolah menjadi cahaya kecil yang menuntunnya kembali pada arti kehidupan. Sejak hak asuh Raden berpindah ke Kara, Deka mulai mendengar panggilan Papi itu, dan entah kenapa setiap kali terdengar, hatinya terasa digelitik oleh kebahagiaan yang sulit ia pahami. Ia yang terbiasa hidup keras, merasa luluh hanya karena satu panggilan sederhana dari anak kecil ini.



"Papi sakit?" tanya Raden tiba-tiba, tatapannya penuh perhatian.



Deka menggeleng pelan, sambil mencoba menenangkan ekspresi wajahnya yang kacau. "Tidak, Papi baik-baik saja."



"Terus kenapa kita di sini, Papi? Kok ramai banget? Raden lihat ada banyak dokter, suster, dan orang-orang sedih..." Raden menatap sekeliling, wajahnya tampak penasaran dan sedikit bingung.



Deka menghela napas, berusaha memilih kata-kata. Raden terlalu muda untuk memahami sepenuhnya, namun ia juga tak bisa menyembunyikan kenyataan.

Shattered Dreams 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang