****
Deka tidak bisa menahan emosinya begitu menerima telepon bahwa Launa telah sadar dari koma. Tanpa ragu, ia meninggalkan semua urusan kantor, fokusnya hanya satu—memastikan bahwa Launa benar-benar baik-baik saja.
Deka melangkah cepat menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang dingin dan hening, hatinya dipenuhi berbagai macam perasaan. Setiap langkah membawa bayangan kecemasan yang terus merayapi pikirannya. Namun, di ujung lorong, ia melihat Kara berdiri di depan pintu ruang rawat Launa, dengan senyum lega yang memancar di wajahnya. Seketika itu pula, beban di hati Deka terasa luruh, dan ia dapat bernapas lega. Launanya telah melewati masa kritis.
Kara bergegas menghampirinya dan tanpa kata, ia melemparkan dirinya ke pelukan Deka, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Launa sudah baik-baik saja, Ra,” bisik Deka, pelan namun penuh kelegaan. Ia mengecup puncak kepala Kara berulang kali, seakan menguatkan dirinya sendiri bahwa semua ini nyata.
Kebersamaan mereka terhenti ketika seorang dokter menghampiri dan meminta mereka untuk berbicara di ruangannya.
“Selamat siang, Bapak Deka dan Ibu Kara. Silakan duduk terlebih dahulu,” sapanya ramah, mempersilakan keduanya mengambil tempat. Ia menyerahkan beberapa lembar kertas berisi hasil pemeriksaan Launa.
“Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir. Launa sudah melewati masa kritisnya. Hasil pemeriksaan terbaru menunjukkan perkembangan yang baik,” jelas sang dokter dengan tenang, suaranya penuh kepastian yang menenangkan.
Kara yang sejak tadi tegang akhirnya memberanikan diri bertanya, “Kapan Launa bisa pulang, Dok?”
Dokter tersenyum sambil merapikan beberapa berkas di mejanya. “Kami masih perlu melakukan pemantauan selama tiga hari untuk memastikan kondisinya benar-benar stabil. Jadi mohon bersabar, ya.”
Deka mengangguk dan bangkit berdiri, “Baik, Dok. Terima kasih banyak atas bantuannya. Kami permisi.”
Dokter mengangguk dengan senyum hangat, mempersilakan keduanya untuk kembali ke ruang rawat Launa.
Saat berjalan beriringan menuju ruang rawat Launa, tak sengaja mereka berpapasan dengan sosok pria yang begitu mereka kenal. Kelano—berdiri di sana bersama wanita yang tampak sangat akrab di sampingnya, Saraswati Kusnadi, mantan istrinya. Kara berhenti di tempat, menatap penuh keterkejutan sekaligus kebingungan yang tak bisa ia sembunyikan.
Kelano yang pertama kali menyapa, mencoba mencairkan suasana yang terlalu sunyi di antara mereka. “Bagaimana keadaan Launa, Ka?” tanyanya, nadanya tegas namun penuh perhatian.
“Launa sudah membaik,” jawab Deka, “Kalian mau kemana?” tanya Deka pemasaran.
“Ayah sakit, dan beliau minta ditemani Mas Kelano untuk menjenguk,” jawab Saras sambil tersenyum lembut. Suaranya lembut dan berkelas, seperti sosok yang Kara ingat sejak dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams 2
Chick-LitMelewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku. Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...