****
Arisan sosialita yang diadakan di rumah Astanasia, mertua Kara, menjadi sebuah kewajiban yang tak bisa dihindari. Sebagai satu-satunya menantu dari keluarga pengusaha batu bara ternama, Kara tahu bahwa kehadirannya sangat dinantikan. Tentu saja, itu bukan sekadar acara kumpul-kumpul biasa. Di mata keluarga besar, kesempurnaan seorang istri dari Deka harus selalu tampak.
Kara melangkah memasuki rumah besar itu, membawa serta kedua anaknya, Raden dan Launa. Sebelum kaki mereka menginjak lantai rumah yang megah, mereka sudah disambut oleh para pelayan rumah, yang dengan sigap membukakan pintu dan mengarahkan mereka ke dalam.
“Selamat datang, Nyonya Kara,” sapa salah seorang pelayan dengan senyuman yang terlatih. Tentu saja, semua tahu betapa Deka bisa marah jika ada yang kurang menghormati istrinya.
Kara hanya memberikan senyum tipis, meskipun dalam hatinya, perasaan berat sudah mulai menggelayuti. Keanggunannya mungkin tampak sempurna, namun setiap kali ia berada di tengah-tengah keluarga ini, ia merasa seolah ada yang hilang dari dirinya—perasaan terasing yang terus mengganggu.
Begitu Astanasia menuruni tangga dengan anggun, Launa langsung berlari ke arah sang nenek dengan langkah riang. “Oma..!” teriak Launa dengan senyum cerah di wajahnya.
Astanasia menyambut Launa dengan hangat, menggandengnya dengan penuh kasih sayang. “Cucu Oma sudah datang...” Astanasia mencium kedua pipi Launa dengan penuh rasa sayang, meskipun senyuman itu hanya sekadar senyuman seorang nenek yang memanjakan cucunya.
Raden yang mengikuti langkah Launa mendekat, memberikan cake yang dibawanya untuk neneknya. “Selamat pagi, Oma,” sapa Raden sambil menyalami Astanasia dengan sikap penuh hormat.
“Pagi juga, sayang,” jawab Astanasia dengan lembut, sambil mengusap rambut Raden dengan penuh perhatian. Matanya memeriksa setiap detail, tak terlewatkan satu pun. “Oh iya, Oma punya hadiah untuk kalian berdua. Ambil di dalam kamar Oma ya...”
Kedua anak itu saling bertukar pandang, lalu Raden berlari menaiki tangga dengan cepat. Launa yang tidak mau ketinggalan berteriak riang. “Oma, turunin aku juga!”
Astanasia dengan sigap menurunkan Launa, yang segera berlari mengejar abangnya. Mata Astanasia mengikuti gerakan cucu-cucunya dengan penuh kebahagiaan, meskipun hatinya terasa sedikit kosong.
Kara mengamati kejadian itu dengan tatapan kosong, menahan segala perasaan yang ingin ia luapkan. Astanasia kemudian menoleh ke arahnya, menatap Kara dengan sorot mata yang penuh perhatian.
“Mami,” sapa Kara, meraih tubuh Astanasia dalam pelukan singkat yang terasa dingin.
“Apa kabar, Ra?” tanya Astanasia, melepaskan pelukan dan menilai wajah Kara dengan seksama. “Mami lihat kamu agak kurusan.”
Kara sedikit terkejut dengan pengamatan itu, namun mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai menggelora. Ia menggelengkan kepala dengan ringan. “Kara baik-baik saja, Mi. Mungkin perasaan Mami aja,” jawab Kara sambil tersenyum tipis, namun ada ketegangan di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams 2
ChickLitMelewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku. Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...