****
“Caranya sederhana…” Suara itu terdengar tegas, tajam, dan memotong udara dengan keanggunan luar biasa. “Cukup tidak terlahir dengan wajah dan hati yang buruk rupa seperti kalian.”
Seketika, ruangan yang semula riuh menjadi hening. Semua yang ada di sana serempak menoleh ke arah sumber suara, termasuk Kara. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, tampak sosok wanita elegan dengan gaun hitam yang memancarkan kilauan kemewahan. Sang bintang utama malam ini—Astanasia Rachet Bulaleno—ibu dari Deka sekaligus ibu mertuanya.
Dada Kara berdegup semakin kencang saat menyadari kehadiran sosok itu. Ini pertama kalinya ia melihat Mami Deka secara langsung, setelah sekian lama hanya menyaksikan wanita itu dari layar televisi atau foto-foto acara bergengsi. Bahkan di berbagai pesta kelas atas pun, ia tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berada sedekat ini.
Kara menatap sosok anggun di hadapannya, seolah terpaku oleh kecantikan yang tetap memikat meski usia wanita itu sudah menginjak lima puluhan. Jadi begini wajah wanita yang dulu pernah mengganggu keluarganya? Wanita yang menjalin hubungan terlarang dengan ayahnya, hingga membuat hidupnya kacau. Perasaan tak menentu mengalir di dalam dirinya, campuran antara rasa sakit, ketakutan, dan kebingungan. Jika di usia saat ini saja Astanasia masih secantik itu, bagaimana pesonanya di masa mudanya dulu?
Tapi, ketika wanita itu melangkah mendekat, perasaan itu berubah menjadi dorongan untuk kabur, lari sejauh mungkin dari bayang-bayang masa lalunya yang kini berdiri begitu dekat. Namun, tubuh Kara seakan membeku, seolah kakinya ditancapkan pada lantai marmer yang dingin. Tak bisa bergerak, tak bisa bersembunyi.
“Bu Astanasia!” para wanita yang tadi mengejek Kara sontak berseru kompak, suara mereka diliputi rasa terkejut yang nyata. Seketika, mereka menundukkan kepala dengan hormat, satu hal yang gagal mereka lakukan terhadap Kara beberapa saat yang lalu.
Astanasia menatap mereka dengan tatapan dingin yang menusuk, lalu berkata tanpa ragu, “Dari mana asalnya keberanian kalian untuk berbicara seperti itu kepada menantu saya?”
Wajah ketiga wanita itu pucat, rasa takut tampak jelas di mata mereka. Suara salah satu dari mereka bergetar saat menjawab, “Maaf... kami mohon maaf Bu...maaf atas kelancangan kami...maaf,” serunya, diikuti oleh anggukan ketakutan dari kedua rekannya.
Astanasia mengangkat sebelah alisnya, jelas menunjukkan ketidaksenangan. “Kalian pikir saya butuh maaf kalian?”
Ketiga wanita itu tampak semakin bingung, tatapan mereka berpaling kepada Kara seolah mencari jalan keluar. Mereka mengulangi permintaan maaf mereka dengan suara yang lebih lembut, “Nona Rahen, maaf atas kelancangan kami... Sekali lagi, mohon maaf, Nona Rahen…”
Namun, ekspresi Astanasia tetap sama—dingin dan tak peduli. “Kalian pikir menantu saya butuh permintaan maaf dari kalian? Pergi! Saya muak melihat wajah kalian.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams 2
Genç Kız EdebiyatıMelewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku. Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...