Seorang Psikolog

26 3 0
                                    

Dua tahun yang lalu usianya baru dua puluh tiga tahun dan Kara baru saja menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu di salah satu universitas terkenal di Yogyakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua tahun yang lalu usianya baru dua puluh tiga tahun dan Kara baru saja menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu di salah satu universitas terkenal di Yogyakarta. Memang hebat, terkesan keren juga. Hanya saja, universitas yang menjadi impian orang-orang itu bukanlah hal yang dia inginkan.

Dia sudah terjebak di kota ini nyaris seumur hidup.

Yogyakarta memang indah. Budaya, alam, bahkan masyarakatnya menyatu dengan harmonisasi yang membuat orang-orang berdatangan ke kota ini bukan hanya untuk berwisata tetapi juga menempuh pendidikan bahkan berkerja.

Namun, terjebak di bawah atap yang sama dengan aturan-aturan aneh yang memuakkan bukanlah apa yang Kara inginkan dalam hidupnya. Keluarganya memang termasuk dalam keluarga berada—sudah kaya dari kakek buyutnya dulu. Mungkin orang-orang akan merasa iri dengan kehidupan Kara, tetapi baginya kehidupan yang dia rasakan tidak jauh beda dengan burung-burung kesayangan kakeknya yang hidup di taman belakang rumah.

Hal gila lainnya selain aturan haram merantau untuk anak perempuan adalah perjodohon. Kara bahkan belum membuka matanya, tetapi dia sudah dipaksa untuk menikah di usia dua puluh tiga tahun. Ya, benar. Tepat setelah dia wisuda dan mendapatkan gelar Sarjana Psikologi.

Waktu itu musim kemarau di bulan Agustus. Pohon tabebuya yang berjejer di pinggir pagar dan taman belakang rumah berbunga dengan indahnya. Namun sayangnya, Kara hanya menghabiskan waktunya di rumah dengan semua amarah yang sudah menumpuk di dalam kepala.

Perempuan itu terlihat kacau dengan rambut berantakan dan wajah bengkak karena sudah dua hari menangis, "Kara udah ngomong berapa kali kalau Kara belum mau nikah, Ma?" rengeknya pada sang ibu yang baru saja masuk membawakan sarapan untuknya. "Mama bantu ngomong sama Oma, ya? Kara mau lanjut profesi dulu baru nikah, Ma."

Wanita dengan rambut sebahu dan berperawakan teduh itu terlihat duduk di tepi kasur sang anak, dia menghela napas. "Usia kamu udah dua puluh tiga tahun, Kara. Kemarin mintanya buat lanjut S1 dan Oma kabulin, Mama nggak bisa jamin kalau Oma bakal kasih izin lagi."

Kara merengek lagi, air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang semakin tirus. Perempuan itu terisak keras. Dia menggeleng-gelengkan kepala sebagai bentuk dari penolakan. Yang benar saja, di saat teman-temannya sedang berkutat dengan amplop coklat, masa dia harus berkutat dengan undangan dan persiapan pernikahan lainnya.

Mana hidup yang penuh tantangan sebagai pengangguran itu?

"Mama minta bantu Kakak aja, hm? Kakak pasti bakal bantuin," Kara kembali berkata, tetapi sosok itu hanya diam menatap lurus kedua tangannya yang saling bertaut. "Ma?"

Pada akhirnya wanita itu mengangguk, dia kemudian tersenyum lembut sembari mengusap air mata sang anak yang mengalir pada pipinya. "Iya, nanti Mama ngomong sama Kakak kamu."

Kara tersenyum lebar. Dia sudah menebak bahwa sang ibu akan luluh kalau sudah menyebut lelaki menyebalkan berwajah jelek itu. Terutama sang nenek, sudah pasti dia akan mengizinkan karena lelaki itu adalah kesayangan orang di rumah ini.

DrowningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang