Seorang Ibu

14 2 0
                                    

Langit di atas Candi Prambanan perlahan berubah warna, seperti kanvas yang dilukis oleh tangan dewa-dewi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit di atas Candi Prambanan perlahan berubah warna, seperti kanvas yang dilukis oleh tangan dewa-dewi. Semburat oranye keemasan memeluk siluet candi-candi yang menjulang megah, menciptakan bayangan yang menari di atas pelataran batu. Udara sore terasa sejuk, bercampur dengan aroma tanah dan dedaunan basah, sisa hujan yang turun ringan di siang hari.

Suara langkah kaki wisatawan mulai mereda, berganti dengan suara burung-burung yang kembali ke sarangnya. Lantunan doa dari pelataran terdengar samar, membawa rasa damai yang mengalir dalam dada. Di kejauhan, Gunung Merapi berdiri kokoh, separuh terbungkus kabut, menyaksikan pergantian siang dan malam.

Di bawah langit yang kian temaram, kilauan sinar matahari terakhir menyusup di sela-sela candi. Tiap ukiran pada dinding batu seolah bercerita, mengisahkan legenda yang telah terjaga selama berabad-abad. Seorang pemuda muda berdiri diam di sana, membuka kedua matanya dan merasakan keajaiban alam yang meresap hingga ke relung jiwanya.

Kaivan sejak dulu sudah menyukai sejarah, maka bersama semua mimpi yang tergenggam di dalam kedua tangannya. Terbang berkilo-kilo meter jauhnya dari rumah guna menempuh pendidikan dan menjelajahi semua peninggalan sejarah yang ada, tanpa membayangkan bahwa dunianya akan seberantakan kemarin.

Kaivan sadar bahwa dia memang tidak akan bisa sebaik dulu, sebab kepala manusia dirancang untuk menyimpan beberapa memori yang terkadang sedikit sulit untuk dihapus dan mungkin kejadian buruk kemarin akan menjadi memori menyedihkan yang akan sulit untuk menghilang di dalam kepalanya.

Saat matahari akhirnya tenggelam di balik cakrawala, keheningan menyelimuti, hanya terganggu oleh hembusan angin lembut yang membawa cerita masa lalu. Candi Prambanan, dalam keagungannya, menjadi saksi bisu atas segala perasaan yang menyatu dalam keindahan senja.

Senyum dari Kara mendadak hadir di dalam kepala, sebelum akhirnya ada sedikit perasaan tak nyaman yang mampir. Kaivan kembali teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Perihal semua keberanian yang dia kumpulkan untuk mengungkapkan perasaannya dan perihal Kara yang beranjak pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Selama nyaris tiga hari, Kaivan harus tidur dengan perasaan gundah gulana. Hal-hal buruk kembali hadir. Dia tidak ingin menjadi asing hanya karena ungkapan perasaannya pada perempuan itu. Namun sayangnya, Kaivan tidak tahu nomor ponsel perempuan itu.

Jadi sekarang, dia hanya bisa menunggu sebuah keajaiban dari Tuhan untuk kembali mempertemukan mereka.

Warna oranye yang tadi menghiasi langit di area Candi Prambanan, kini berubah menjadi jingga. Terlalu indah, kelewar indah, dan Kaivan mendadak berharap bahwa sosok itu akan duduk di sebelahnya menikmati matahari tenggelam di sini.

Lantas, Kaivan dibuat terkejut dengan seseorang berdiri tanpa suara di sebelahnya. Dia menoleh dan menemukan sosok Kara yang terlihat semakin cantik di bawah langit senja dengan rambut tergerai yang menari-nari ditiup angin. Perempuan itu tersenyum lebar hingga lesung pipi kecil pada pipinya terlihat. Kaivan ikut tersenyum.

DrowningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang