Seorang Tunangan yang Mencintai Orang Lain

25 1 0
                                    

"Dok, ada Pak Wiran di depan katanya ada sesuatu yang mau diomongin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dok, ada Pak Wiran di depan katanya ada sesuatu yang mau diomongin."

Kara menghentikan jemarinya yang menekan satu demi satu tombol pada keyboard dengan layar komputer yang menyala itu. Kedua matanya menatap sosok bernama Harima—salah satu terapis wicara yang berkerja di sana—yang masih berdiri di ambang pintu.

Pada akhirnya, satu tarikan napas dia lakukan. Kara tidak bisa lagi menghindar. Satu hal yang dia yakini adalah sang ibu yang menjadi biang kerok kenapa lelaki itu bisa tahu di mana dia berada saat ini. Namun terlepas dari itu semua, Kara tidak ingin meluapkan kekesalannya pada sang ibu.

Maka dengan langkah berat—terlihat seperti diseret—Kara menghampiri lelaki itu. Dia nampak duduk di salah satu sofa di lobi klinik. Kedua matanya menatap lekat pada benda pipih di dalam genggaman, sebelum akhirnya mendongak tatkala perempuan itu sudah berdiri di hadapannya.

"Kenapa?"

Ekspresi kesal dengan alis menukik tajam adalah satu-satunya yang bisa lelaki itu lihat selama dia mengenal bocah kecil yang menangis karena ayam kesayangannya disembelih beberapa tahun silam itu. Wiran, lelaki itu, tidak begitu paham kenapa Kara hanya bisa menunjukkan raut kesal atau marah padanya.

Wiran tahu bahwa Kara tidak menginginkan perjodohan konyol antara mereka. Dia juga tahu bahwa Kara adalah sosok dengan jiwa yang bebas dan memiliki keingintahuan yang cukup tinggi tentang hal baru. Dia memiliki mimpi dan pendirian yang kuat untuk menjadi seorang perempuan yang mandiri serta terbebas dari semua aturan konyol dalam keluarga mereka.

Feodalisme dan patriarkal benar-benar tidak cocok untuknya.

Namun sayangnya, Wiran tidak bisa menemukan jalan untuk menghentikan tradisi konyol keluarga mereka. Sebab di dalam lubuk hatinya yang terdalam, lelaki ini juga tidak menginginkan perjodohan itu. Bukan hanya karena dia tidak memiliki perasaan pada Kara, tetapi juga kenyataan di mana dia tidak mau menjadi penghalang dari mimpi perempuan itu.

Lantas Wiran berdiri setelah tadi mengulas senyum kecil. Kini keduanya berdiri berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Kara terlihat menyilangkan kedua tangannya, sedangkan Wiran terlihat menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana bahan yang dia pakai.

"Kamu kenapa nggak angkat telpon aku?" tanya lelaki itu dengan suara berat, tetapi terdengar lembut.

Kara merotasikan kedua bola matanya jengah, "Aku sibuk, pasien banyak."

"Emangnya nggak ada waktu yang bisa kamu luangkan buat liat HP?" lagi, Wiran bertanya.

Sejujurnya Wiran tahu bahwa Kara belum diberi tugas yang begitu banyak dalam menangani pasien oleh Ibu Faras. Hanya saja dia tidak bisa mengatakan semua kebenaran itu dan membuat Kara malah semakin kesal padanya. Lantas pada akhirnya, dia kembali menjadi sosok yang mengalah pada konversasi mereka yang akan berakhir dengan perdebatan.

"Nggak."

Lagi, Wiran menarik napasnya cukup panjang. "I'm sorry that I didn't know your schedule and you have no time to check your phone, so I wanna tell you kalau Mama ngajakin makan malam hari in. Jadi, aku berharap kamu bisa datang ke rumah bareng sama aku."

DrowningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang