Seorang Pecandu

10 1 0
                                    

Bulan depan, tepatnya bulan Juli, Kara akan berusia 25 tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan depan, tepatnya bulan Juli, Kara akan berusia 25 tahun. Kata orang itu, quarter life crisis. Usia krusial di mana orang-orang mulai mengalami krisis identitas, krisis tujuan hidup, dan krisis-krisis lainnya yang terkadang membuat overthinking sepanjang malam. Namun untuk Kara, ulangtahun ke 25 akan menjadi awal dari mala petaka dalam hidupnya. Bukan hanya tentang krisis mengenai tujuan hidup, tetapi juga krisis di mana dia harus memikirkan bagaimana caranya membatalkan pernikahannya.

Hanya saja, terlepas dari semua overthinking yang ada di kepala. Kara berhasil tidak tidur semalaman, bukan memikirkan tentang tujuan hidup serta makna dari kehidupan yang dia lewati, melainkan karena kejadian kemarin. Kemarin adalah momen paling indah yang pernah dia miliki. Detik di mana dia akan memasuki usia quarter life crisis itu, dia malah bertemu dengan sosok yang berhasil menghadirkan ribuan kupu-kupu yang menggelitik perut.

Sialnya, Kara adalah seorang perempuan yang belum pernah berciuman sebelumnya dan kemarin ciuman pertama miliknya telah berhasil dicuri oleh bocah tengik berusia empat tahun lebih muda darinya. Kaivan berhasil merebut bukan hanya ciuman, tetapi juga kepercayaan dan hatinya. Pemuda itu hadir bak cahaya di tengah-tengah gelapnya hidup.

Menatap wajahnya lewat kaca spion dalam, Kara kembali dibuat berdecak sebal. Pipinya tetap terlihat merah bahkan setelah dia menutupinya dengan bedak yang cukup tebal. Kedua matanya kemudian tak sengaja menatap belah bibirnya. Sial, Kara menggeram. Deru napas dan lembutnya bibir pemuda itu kembali hadir di dalam kepala.

Menarik napas, Kara lantas turun dari mobil dan segera beranjak untuk pergi kerja—sebab Ibu Faras benar-benar tidak suka orang yang terlambat. Namun sialnya, tatkala dia baru saja mengambil satu langkah menjauh dari mobil, seorang gadis terlihat berdiri di depannya.

Sosok itu terlihat berantakan, dengan belah bibir kering serta ujung bibir yang membiru. Sebelah matanya juga terlihat membengkak, bahkan ungu karena memar itu masih terlihat jelas. Kara tersentak, dia menyadari bahwa sosok ini adalah korban kekerasan. Melihat dari luka-luka yang dia peroleh, Kara berpikir bahwa mungkin penyiksaan yang menimpa gadis ini terjadi sekitar tiga atau empat hari yang lalu.

"Kamu psikolog yang ngerawat Kaivan, 'kan?"

Kara berhasil tersadar dari lamunannya. Kedua matanya menatap penuh tanya pada sosok yang tadi berhasil merebut atensi dan menghadirkan perasaan empati itu. Sejenak dia menimbang kalimat seperti apa yang akan dia katakan, tetapi gadis ini kembali melanjutkan.

"Saya mau tahu kondisi Kaivan," dengan nada suara yang terdengar putus asa.

Perempuan ini menggeleng, dia lantas mendekat. "Maaf, Saya nggak bisa ngasih informasi apa-apa tentang klien Saya. Karena itu melanggar privasi," jawabnya dan berusaha membopong gadis asing ini untuk masuk ke klinik—berniat mengobati.

Namun, gadis ini membawa langkahnya mundur—terlihat menghindari. Kara mengerutkan kening. Satu tarikan napas dia lakukan dan Kara kembali mencoba membawa tubuh kurus itu untuk masuk ke klinik, tetapi dia tetap saja menghindar.

DrowningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang