[M] Pada suatu pagi, Kaivan menemukan dirinya terkapar di tepi hutan belantara tanpa pakaian. Dia linglung, beberapa penduduk yang menemukan dirinya berusaha menolong, tetapi dia malah berteriak ketakutan. Kedua matanya menatap nyalang, sedangkan tu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Bagaimana harimu, Kaivan? Sudah lebih baik?"
Keduanya saling tatap sembari memancarkan kehangatan satu sama lain. Kaivan tersenyum lebar hingga membuat gigi putihnya nyaris terlihat. Pertanyaan yang baru saja Kara lontarkan terdengar begitu manis bak gulali yang dia beli di pasar malam sewaktu kecil.
Hari ini adalah pertemuan terakhir Kaivan. Sekelebat ingatan hari pertama mereka kembali hadir di dalam kepala. Kara nyaris menangis terharu, sebab tidak menyangka bahwa kedua bola mata yang sarat akan kesediahan, dengan tatapan sayu dan lingkaran hitam di bawah mata, gurat wajah yang terkadang memperlihatkan ketakutan, bibir yang kering, pipi yang tirus, dan tubuh yang terlihat kurus itu kini telah berubah menjadi jauh lebih baik.
Kara terus mencoba kembali bersikap profesional dan melupakan semua kejadian yang dia alami beberapa waktu lalu. Kaivan dan tatapannya yang hangat, suaranya yang berat dan halus, semua hal dari pemuda ini bak candu yang membuatnya tak bisa tidur.
Hanya saja, sial! Tidak boleh seperti itu.
"Aku akan mengusirmu dari sini kalau kamu tidak bisa bersikap profesional bahkan terjebak dalam hubungan emosional dengan klien, Kara!"
Kalimat yang Ibu Faras katakan kembali terngiang. Tatapan tajam dan suaranya yang dalam membuat Kara bergidik ngeri. Dia masih membutuhkan pekerjaan ini dan masih ingin bekerja di sini sembari memikirkan cara untuk membatalkan pertunangannya.
Dari jurnal yang Kaivan tulis dan diserahkan setiap pertemuan, Kara melihat perkembangannya menjadi jauh lebih baik dari pertemuan sebelumnya. Ada sepuluh sesi pertemuan dan pada sesi kedelapan, Kaivan terlihat mulai menunjukkan perkembangan dengan lebih banyak tersenyum serta tertawa.
Kara ingat sewaktu kuliah, Ibu Faras pernah mengatakan bahwa dunia psikologi itu berbeda dengan dunia medis lainnya sebab bersifat dinamis dan abstrak—tidak ada yang tahu persis apakah seorang pasien itu sudah sembuh sepenuhnya atau belum. Namun ketika fungsinya sebagai makhluk sosial sudah kembali dan dia sudah mau tumbuh serta berkembang, maka pasien atau klien tersebut bisa dibilang sudah sembuh.
Kaivan memutus kontak mata mereka, kemudian menggedikkan bahu. "Entahlah," katanya, pun terdiam sejenak. "Bagaimana menurutmu, dok? Apa aku sudah baik-baik saja?" tanyanya lagi dan kembali menatap Kara.
"Aku membaca jurnalmu dan aku lihat kamu sudah kembali ke kampus," ujar Kara dan langsung mengalihkan tatapannya.
"Aku mau lulus, skripsiku udah lama nggak aku kerjain. Aku juga kangen sama temen-temen yang lain," balas Kaivan, pun memiringkan kepalanya sembari tersenyum hangat. "Jadi... aku sudah baik-baik saja, 'kan?"
"Sebenarnya aku nggak bisa jawab, karena yang tahu kamu biak-baik aja atau belum itu cuma diri kamu sendiri. Aku sebagai psikolog, cuma bisa memantau perkembangan kamu dari jurnaling yang kamu tulis. Tapi sejauh ini, aku lihat kamu udah berani untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Sudah mulai berani untuk kembali berfungsi sebagai makhluk sosial seperti sebelumnya," Kara menarik napas dan menatap pemuda di depannya, dia kemudian memperlihatkan sebuah senyum tulus. "Kamu hebat, Kaivan."