[M] Pada suatu pagi, Kaivan menemukan dirinya terkapar di tepi hutan belantara tanpa pakaian. Dia linglung, beberapa penduduk yang menemukan dirinya berusaha menolong, tetapi dia malah berteriak ketakutan. Kedua matanya menatap nyalang, sedangkan tu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pada kenyataannya, dunia perkuliahan yang jauh dari orangtua serta kerabat dekat menghadirkan realita yang tak sesuai ekspektasi. Dua hal yang ada hanyalah; kesedihan dan kesepian. Terkadang merindukan rumah, terkadang merasa menyesal karena sudah pergi jauh dari rumah, dan terkadang sampai menangis dalam diam karena ingin pulang.
Menjadi mahasiswa memiliki begitu banyak tekanan. Semua ekspektasi yang pernah dibayangkan sewaktu SMA tak ada satu pun yang menjadi kenyataan. Menyedihkan dan menyesakkan.
Romantisme yang dihadirkan pada sebuah novel yang sempat Kaivan baca di perpustakaan sekolah ternyata hanyalah khayalan si penulis yang mungkin bisa saja merasa jenuh dengan kehidupan perkuliahan yang terkesan monoton dan terkadang memuakkan itu.
Tidak ada waktu untuk jatuh cinta, tidak ada waktu untuk bermain-main, tidak ada waktu untuk mengalami cinta lokasi dengan teman sekelas karena pada kenyataannya Kaivan sadar bahwa teman sekelasnya sama-sama menyebalkan seperti yang dia temui sewaktu SMA, bahkan dia saja kekurangan waktu untuk mengisi perutnya sendiri. Belum lagi tugas, praktikum, laporan akhir, makalah, dan PPT untuk presentasi.
Namun setidaknya, dia punya satu teman baik yang sudah menemaninya dari awal semester sampai mereka berada di semester tujuh seperti sekarang. Mungkin Kaivan harus lebih belajar caranya berterima kasih dan merasa bersyukur, sebab dia punya teman setulus Yoza di dalam hidupnya.
Lantas setelah selesai dengan sesi konsultasinya, Kaivan nampak keluar dengan ekspresi yang jauh lebih tenang dari saat pertama dia masuk ke dalam ruangan. Tidak ada tatapan ketakutan atau ekspresi waspada yang hadir di sana.
Kedua matanya menatap sosok Yoza dan pacarnya yang berdiri dari tempat duduknya tadi. Rasanya dia ingin melangkahkan kaki dan memeluk Yoza, sebab lelaki ini telah menyelamatkan dirinya dan membuatnya berada di sini lantas bertemu dengan sosok yang berhasil menghadirkan debaran pada jantungnya.
Yoza dan Lidia yang melihat tatapan aneh dari Kaivan yang masih bergeming itu saling menatap untuk beberapa detik, kemudian menatap ke arah lelaki itu lagi. Lidia yang ingat betul bagaimana Kaivan yang tidak nyaman saat berada di dekatnya sedikit mengerutkan kening karena bingung.
"Dia kenapa nggak teriak-teriak?" bisiknya pada Yoza yang juga terlihat kebingungan.
Mengedikkan bahu, Yoza lantas tersenyum kecil sembari menatap Kaivan. "Nggak tahu, By. Aku malah lebih takut ngeliat muka dia yang begitu dari yang kemaren," jawabnya.
Saat sedang sibuk berbisik pada satu sama lain, seorang perawat datang menghampiri mereka dan menyuruh Yoza untuk masuk menemui psikolog yang baru saja selesai melakukan sesi konsultasi dengan Kaivan. Lidia yang tidak diberi izin untuk ikut hanya bergeming di tempatnya dan berusaha untuk tidak mengganggu Kaivan.
Lantas di sana Yoza berada, duduk di hadapan seorang perempuan yang bisa dikatakan adalah sosok yang cantik. Sejenak dia berpikir bahwa mungkin ekspresi yang tadi Kaivan perlihatkan adalah bentuk terima kasih lelaki itu padanya karena sudah mempertemukannya dengan perempuan cantik, tetapi Yoza ingat bahwa Kaivan sempat berteriak ketakutan saat ingin disentuh oleh perawat yang mencoba mengobati lukanya sewaktu dia dirawat di rumah sakit waktu itu.