Motor Revan berhenti di depan teras rumah Gita. Suara mesin yang sebelumnya mengisi keheningan kini mereda, meninggalkan suasana tenang. Revan menoleh ke belakang, menatap Gita yang masih memeluk pinggangnya.
"Udah sampe" katanya dengan nada lembut.
Gita perlahan melepaskan pelukannya, lalu turun dari motor tanpa berkata apa-apa. Tangannya membuka tali helm, dan dengan gerakan pelan, dia menyerahkannya kembali ke Revan.
Revan menerima helm itu sambil tersenyum kecil.
"Thanks" ucapnya.
Gita mengangguk singkat, tetapi matanya tidak menatap langsung ke arah Revan. Raut wajahnya terlihat tenang, namun ada sesuatu yang sulit dijelaskan dalam sorot matanya, perasaan yang bercampur aduk antara cemburu, bingung, dan sedikit lega.
Revan, yang menyadari perubahan sikap Gita sejak siang tadi, merasa ada banyak yang ingin dia tanyakan. Tapi waktunya tidak memungkinkan. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 4 lewat, dan dia masih harus pergi ke kafe untuk bekerja.
"Gw harus ke kafe nih" kata Revan sambil menyalakan mesin motornya.
Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, seolah dia khawatir meninggalkan Gita dengan suasana hati seperti itu.
"Lo masuk aja. Jangan lupa istirahat" lanjutnya.
Gita menatapnya sekilas, lalu mengangguk pelan.
"Hati-hati di jalan" ucap Gita.
"Pasti" balas Revan sambil tersenyum.
Dia menatap Gita sejenak, berharap gadis itu mengatakan sesuatu lagi, mungkin alasan dari sikap dinginnya hari ini. Tapi Gita tetap diam, hanya berdiri di sana, memegang tali ranselnya dengan kedua tangan.
Akhirnya, Revan menarik gas pelan, membiarkan motornya melaju menjauh dari rumah Gita. Suara deruman motornya semakin lama semakin kecil, hingga akhirnya menghilang di kejauhan.
Kemudian Gita membuka pintu rumahnya perlahan, udara sejuk dari dalam menyambutnya. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi untuk sore hari. Biasanya, suara televisi akan terdengar dari ruang keluarga, di mana Kinal, duduk sambil membaca majalah. Tapi kali ini, ruangan itu kosong, hanya diisi oleh sofa yang rapi dan meja yang tertata sempurna.
Gita melepaskan ranselnya dan meletakkannya di atas meja dekat pintu masuk. Dia melangkah masuk, matanya menyapu setiap sudut ruangan, berharap menemukan seseorang yang biasa menyambutnya. Tapi tidak ada.
"Mah?" panggilnya sambil berjalan ke ruang keluarga. Tidak ada jawaban.
Dia berhenti sejenak, mencoba mendengar suara dari bagian lain rumah. Tapi, hanya ada keheningan. Gita menghela napas pelan, lalu memutuskan untuk pergi ke dapur.
Di dapur, Bi Irah, asisten rumah tangga mereka, sedang berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa piring yang tampaknya bekas makan siang. Wanita itu menoleh saat mendengar langkah Gita mendekat.
"Oh, Non Gita. Udah pulang?" sapanya ramah sambil tersenyum.
Gita mengangguk kecil.
"Iya, Bi. Tapi kok sepi banget? Mamah kemana?" tanya Gita.
"Oh, Nyonya tadi bilang mau pergi keluar sebentar. Katanya ada acara di rumah temennya. Mungkin baru pulang malam," jawab Bi Irah sambil melanjutkan cuciannya.
Gita mengangguk lagi, meski hatinya sedikit terasa hampa.
"Kalau Papah sama Kak Jinan?" tanya Gita lagi.
"Tuan sama Non Jinan belum pulang, Non. Kayaknya masih di kantor" jawab Bi Irah sambil mengelap tangannya dengan lap bersih.
Gita menggigit bibir bawahnya pelan. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, dan itu hanya membuat rumah ini terasa lebih kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary : Called Love? (DelGit)
Fanfiction[Hanya Fiksi, Jangan Dibawa Ke Real Life] Revan Fidella Angkasa, cowok populer dan jago basket di sekolah, selalu dikelilingi banyak teman. Sikapnya yang ramah sering membuat cewek-cewek salah paham, mengira dia memberi harapan lebih. Namun, di bali...