Aku duduk disamping ibu, sambil terus melihat kearah si lelaki. Setelah kulihat dari cara mereka berdua menatap dan berkomunikasi, aku langsung mengerti maksud dan arah pertemuan kami ini. Seketika kurasakan diperutku seperti diisi awan-awan hitam yang memenuhi ruang tubuhku selayaknya kapas didalam bantal.
"Kamu pasti Magi, ya?" ujar lelaki itu basa-basi kepadaku.
Aku tidak berminat menanggapinya, tapi setidaknya aku harus mengangguk, demi ibuku. Dia benar-benar terlihat bahagia hari ini. Aku tidak mau mempermalukannya.
"Ini Om Ridho, kenalan ibu," Ibu mulai mengenalkan lelaki itu, ia menunjuknya dengan menadahkan tangan kirinya ke arah si lelaki.
"Salam kenal ya, Magi. Kita akan sering ketemu," sambungnya lagi dengan senyum yang merekah, menunjukkan susunan giginya yang rapi dan berwarna kuning gading.
Aku menyahutinya dengan anggukan. Dipikiranku sudah mulai memberi penilaian untuk Om Ridho, mulai dari penampilan, tutur bahasa, sikap, dan caranya menghadapi kami.
"Kamu mau makan apa? Pesan dulu, yuk!" ajak Om Ridho sambil menunjuk ke salah satu counter makanan.
Aku langsung melihat ke arah ibu, iya mengangguk sambil tersenyum. Matanya bercahaya, pipinya merona samar. Aku sudah cukup usia untuk tahu bahwa ibu sedang kasmaran.
Semenjak Bapak meninggal dunia, aku merasakan hidup yang begitu tenteram. Tidak ada lagi rasa takut dipukuli ataupun dihardik. Aku menikmati tidur malamku dengan nyenyak, bahkan aku bisa tidur siang dengan leluasa. Semua berjalan dengan baik. Gaji ibu dari pekerjaannya cukup untuk menghidupi kami berdua. Kami punya rumah sendiri, walaupun sederhana, tapi tidak perlu membayar sewa. Yang perlu dipikirkan hanya makan, listrik, dan biaya bulanan lainnya yang cukup ringan.
Setiap hari kujalani dengan baik-baik saja. Teman-teman di lingkungan rumah sudah mau bicara dan bermain denganku, tanpa takut dengan sosok Bapak lagi. Kematian bapak sangat kusyukuri. Aku bahkan bahagia menyandang gelar 'yatim', karena status itu aku mendapatkan beasiswa yang menutupi SPP sekolahku, aku juga sering diberi uang santunan. Ternyata menjadi yatim itu hal yang menyenangkan.
Sekarang laki-laki ini hadir, yang akan menghilangkan status janda dari ibu, bahkan menghapuskan santunan-santunan yatim yang harusnya masih bisa kuterima untuk beberapa waktu ke depan. Apakah dia berbeda dengan Bapak? Atau dengan kehadirannya, hujanan pukulan itu akan kembali lagi? Cacian dan makian akan terdengar lagi di rumah kami yang sudah sangat tenang? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.
"Magi suka es teler?" tanya Om Ridho sambil mengangsurkan semangkuk es ke hadapanku.
Aku melihat ke arah es itu, lalu ganti melihat Om Ridho yang tersenyum manis, kemudian ke arah ibu yang juga tersenyum sambil mempersilakanku memulai makan. Disaat ini, aku seperti dikelilingi tiga mangkuk es teler, satu di atas mejaku, satu di sebelah kiriku, dan satu lagi di hadapanku, tepatnya di depan ibu. Mereka bertiga terlihat sangat manis dan menyegarkan, membuat kekhawatiranku hilang seketika.
Kutarik kedua sudut bibirku, memberikan senyum termanisku. "Iya, suka," jawabku sambil menarik mangkuk es semakin mendekatiku.
"Mulai sekarang, Magi bisa minta sama Om, kapan aja," ujarnya dengan wajah bersinar, seperti dikelilingi cahaya putih membentuk lingkaran. Ah, kurasa aku harus menyetujui mereka bersama.
***
"Magi, ibu boleh ngobrol sama kamu?" tanya ibu begitu masuk kamarku. Aku sudah bersiap hendak tidur, sudah jam 9 malam.
"Kenapa, bu?" aku balik bertanya. Kami pulang dari pertemuan dengan Om Ridho sekitar pukul 8 malam. Setelah dari food court itu, kami diajak Om Ridho ke taman, pusat perbelanjaan, sampai makan malam di kedai-kedai bertenda di pinggir jalan. Sepertinya hari memang agendanya adalah mengenalkan Om Ridho padaku, bersama dengan pemberitahuan bahwa Om Ridho yang baik budi pekerti itu juga baik isi saku, dia secara tak langsung mengatakan mampu untuk menafkahi ibu yang sepaket dengan seorang anak.
"Kalau menurut kamu, Om Ridho gimana?" tanya ibu lagi, ia mengambil posisi duduk di pinggir ranjangku.
Ini dia, ini puncaknya. Inti dari segala hal yang terjadi hari ini. Ibaratnya tadi Om Ridho sudah mengerjakan segala tugas dan soal-soal ujian, dan sekarang adalah waktunya memberi nilai. Dan aku sebagai tim penilai sejujurnya sampai saat ini tidak bisa memutuskan apa-apa.
"Dia baik," jawabku singkat. Aku tahu ibu mengharapkan jawaban positif dariku, dia menginginkan sebuah penerimaan.
"Terus?" tanya ibu lagi.
Terus apa? Aku tidak tahu mau menjabarkan apa. Yang kurasakan sekarang adalah keraguan dan ketakutan akan kejadian-kejadian bersama Bapak bisa saja terulang lagi bersama Om Ridho nantinya.
"Kalo menurut kamu, Om Ridho cocok nggak sama Ibu?" ia kembali bertanya karena aku belum kunjung menjawab.
"Entahlah," aku menjawab sambil masuk ke selimutku lebih dalam.
"Magi, sebenarnya Ibu dan Om Ridho berencana untuk menikah," ujar ibu kemudian, ia sepertinya ingin mempersingkat sesi diskusi yang mengambang ini. "Itu juga kalau Magi mengizinkan," imbuh ibu.
Mengizinkan? Ibu minta izin dengan ABG labil sepertiku? Memangnya apa yang Ibu harapkan? Wejangan pra-nikah?
"Magi 'kan tahu, sudah empat tahun kita hanya tinggal berdua saja. Sepertinya rumah ini terlalu sepi kalau hanya diisi kita berdua," jelas ibu, tangannya mulai membelai kepalaku pelan. "Dan Ibu rasa, kita butuh seorang laki-laki di rumah ini, untuk menjaga kita," sambungnya sambil terus mengusap rambutku.
Kuturunkan selimut yang nyaris menutupi wajahku, kulihat ke arah dinding kamarku lalu menjawab, "Terserah Ibu saja."
Setelah itu, aku tidak ingat lagi tanggapan dari Ibu. Kurasa aku benar-benar tertidur, dan terbangun pagi harinya, lalu memulai hari seperti biasa. Jawaban yang kuberikan untuk Ibu, aku yakin dia tidak puas. Tetapi seperti yang sudah kuduga, semua hanya formalitas, izin dariku tidak benar-benar mereka upayakan. Dalam 1 bulan setelah hari pertemuanku dengan Om Ridho, mereka menikah. Tanggal pernikahan mereka tepat satu hari setelah hari terakhir ujianku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, menjadikan seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik menjadi hal yang kasat mata, terlihat. Sedangkan psikis tersimpan, hanya dapat dirasakan dengan perasa abstrak yang disebut kalbu...