Siluman Ulat Bulu II

14 11 2
                                    

"Paling kantin," jawabku. Aku sudah melihat bangunan kantin dari kejauhan.

"Okekeh. Aku nyusul yakk!" ujar Fira, kemudian teleponnya langsung terputus. Dasar! Tadi aku mengangkat telepon tanpa sapaan awal, dia protes. Giliran dia, ternyata memutus telepon tanpa pamit. Sama aja.

***

Pesanan coklat dinginku sudah dimeja, laptopku sudah terkembang dengan memutar video film kartun, jalan durasi 7 menit. Kulihat ke arah jalan yang kulalui tadi? Mana si siluman ulat bulu? Katanya mau nyusul. Ah, terserahlah. Aku kembali ke rencana awal saja.

Kembali kupasangkan headset ke kedua telingaku, kudekatkan gelas coklatku, menyeruputnya sekali, lalu melanjutkan menonton film. Kantin riuh, tapi aku cukup tenang. Aku memang menonton, tapi pikiranku bercabang. Aku masih memikirkan apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku tidak bisa merencanakan kegiatan sebelum aku punya kelompok. Tapi kurasa, aku bisa mulai dari merencanakan kegiatan individu, membuat rancangan pembelajaranku dulu. Kurasa aku perlu ke perpustakaan setelah ini, mau mencari buku pelajaran SMA terbaru.

Apa aku diskusi dengan senior saja, ya? Tapi siapa yang bisa kutanyai? Aku tidak ikut organisasi apapun, benar-benar tidak aktif. Hal itu membuatku menjadi 'tidak terlihat' dimata senior. Apa aku sok-sok akrab saja? Refleks kugaruk kepalaku yang sejujurnya tidak gatal.

"Perasaan yang ditonton film princess, kok sampe garuk kepala? Emang sesulit itu alur ceritanya?" tiba-tiba seseorang berbicara tepat ditelingaku, headset yang tadinya menyumbat sudah dicabutnya terlebih dahulu.

Aku menoleh ke arah telinga kiriku, arah sumber suara. "Lama banget," tukasku spontan saat yang terlihat adalah wajah si siluman ulat bulu, Fira.

Dia menjawabnya dengan cengiran canggung, "Hehe, ada job dikit," katanya sambil menarik kursi disampingku, lalu duduk dan meletakkan tasnya di atas meja.

"Nih, udah cukup sepuluh," Fira berkata lagi sambil menyodorkan selembar kertas.

Kuteliti isinya. Deretan nama-nama, yang dimulai dari namaku diurutan teratas. "Apa ini?" tanyaku sambil melambaikan kertas itu singkat.

"Anggota kelompok PPL kita. Kamu ketua, yang lain udah pada setuju," jawabnya santai, sambil menyeruput minumanku.

Kembali kubaca tulisan nama dikertas itu. Aku, Fira, lalu... Windra? Edo? Ria? Mena? Siapa itu? Diurutan berikutnya aku cukup kenal, ada Devi, Gita, Nova, dan Eva, mereka satu geng, sudah lama mereka dekat dengan Fira (aku bahkan mengira Fira satu geng dengan mereka).

Fira benar-benar hebat. Dia sudah menyusun kelompoknya dengan baik. Dia bahkan tahu, aku pasti tidak punya kelompok, dan dengan berbesar hati menyeret-nyeret aku dalam kelompoknya.

"Ketuanya harus aku? Ini 'kan ada cowok. Dia aja lah," kutunjuk nama Windra dan Edo. Walaupun aku tak mengenal mereka, tapi aku cukup yakin mereka berdua laki-laki.

"Jadi nggak mau nih? Padahal menurutku kamu pas jadi ketua. Soalnya pas kamu jadi ketua kelompok kita selama ini, semua anggotanya nurut," tanggap Fira dengan wajah serius, "Soalnya kamu serem, kayak tukang makan orang. Hahahaha..." imbuhnya. Siluman ulat bulu ini, memang tidak pernah benar-benar memujiku!

Kusikut lengannya dengan kesal, "Ketuanya laki-laki saja, lebih leluasa ngobrol sama perangkat sekolah nanti," aku bersikeras untuk mengganti ketua kelompok.

"Oh, iya juga ya. Yaudah, ntar kita diskusiin lagi aja," kata Fira sambil mengambil kertas list nama anggota kelompok itu dari tanganku. "Itu aku udah buat grup chat untuk kelompok kita ini. Link-nya udah aku kirim personal ke kamu. Nanti langsung di-accept ya, soalnya mau langsung diskusiin bahan-bahan kebutuhan PPL nanti," jelas Fira sambil menunjuk ke HP-ku yang tergeletak di meja, tepat di samping laptopku yang masih memutar kartun. Ah, sudah banyak durasi film yang terlewatkan olehku.

Aku mengangguk. Kututup jendela pemutar film di laptop, melanjutkan dengan mematikan laptopnya. Sementara muncul tulisan 'shutting down' dilayar lengkap dengan donat berputar-putar, tanganku beralih ke HP dan mulai membuka chat yang sudah menumpuk.

Sebagian bebanku hilang, karena Fira. Dia benar-benar berniat mengasuhku. Dia tahu aku pasti sulit membentuk kelompok, makanya dia langsung berinisiatif menulis namaku dipaling atas dalam list kelompok. Hal itu juga untuk memberikan peringatan ke calon anggota kelompok, bahwa mereka nantinya akan sekelompok dengan orang emosi labil, jutek, sombong, dan tidak pintar bersosialisasi bernama Magi. Agar mereka bisa menimbang-nimbang, atau setidaknya mempersiapkan mental untuk menghadapi aku dalam kelompok nantinya.

"Makasih, Fir," gumamku sambil terus memperhatikan layar HP. Tidak ada sahutan dari Fira, sepertinya dia tidak menyimaknya.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang