"Sudah saya periksa. Saya rasa judulmu menyulitkanmu nantinya. Cobalah kamu pikirkan dulu judul yang lain, yang metode penelitiannya lebih mudah," jelas bu Afni, dosen pendamping skripsiku. Ia mengembalikan bundelan ketikan bab 1 dan bab 2 yang baru saja kuserahkan.
"Harus saya ganti keseluruhannya, bu?" tanyaku memperjelas. Apa aku benar-benar harus mengulangnya lagi? Ini sudah kali ketiga aku mengganti judul, dan harus kuganti lagi? Judul pertama yang kusodorkan, ia bilang terlalu mudah. Kemudian setelah beberapa revisi, sekarang katanya 'menyulitkan'? Dan aku harus menggantinya ke yang 'lebih mudah'? Aku merasa seperti dibolak-balik.
"Gini aja deh. Judulnya saya rasa sudah cukup oke, tapi coba ganti dibagian metode penelitiannya saja. Kamu pakai kuesioner saja, nggak usah sampai kamu observasi sendiri," sepertinya bu Afni memahami maksudku, tentang protes terselubung yang kuajukan.
Bu Afni membuka kembali bundelan itu, membukanya pada bab 2, "Nah, yang ini saja kamu tukar. Judulnya kamu sesuaikan sedikit kata-katanya," ujarnya sambil mencoret-coret bagian yang harus kuperbaiki.
Kuamati tangannya yang terus bergerak menunjuk-nunjuk tulisanku, sambil sesekali menambahkan coretannya. Kucoba menyerap semua kata-kata bu Afni yang sudah mulai terdengar seperti suara ayam. Sesekali kutarik napas dalam, berusaha tenang. Ayo, Magi, kunci pemahaman adalah jiwa yang tenang.
Bu Afni masih melanjutkan ke halaman berikutnya, dan seperti ia membolak-balik kertas itu, seperti itulah suara asli bu Afni dan suara menyerupai kokokan ayam berganti-ganti ditelingaku. Kugaruk kepalaku, spontanitas karena rasa penuh karena penjelasan dari dosen yang sangat teliti ini.
***
Kutatap punggung Hera sambil melanjutkan langkahku. Hera sedang berjalan, tepat lima langkah didepanku yang juga sedang berjalan. Punggung itu, cukup kekar dan lebar untuk seorang perempuan. Tapi untuk Hera, dimataku semua terlihat sudah sesuai proporsi dan karakternya yang kuat.
Aku melambatkan langkahku, menambah jarak antara kami berdua. Hera berjalan sendiri, tanpa dayang-dayangnya, apakah itu dari gengnya, atau sekedar teman-teman satu jurusan. Melihatnya sendiri, pikiranku dipenuhi olehnya. Apakah aku bisa menyapanya? Apa aku bisa menemaninya, berjalan beriringan?
Langkahku terhenti, karena tiba-tiba Hera berhenti dan langsung berbalik arah, sehingga langsung menatapku. Mata kami bertemu beberapa saat.
"Eh, Gi," sapanya sambil menghampiriku. "Mau kemana?" tanyanya dengan langkah berhenti tepat dihadapanku.
Aku ragu menjawab, "Kantin," kataku akhirnya. Sebenarnya aku hanya ingin pulang, tetapi karena melihat Hera berjalan sendiri, kakiku secara otomatis mengikutinya.
"Ah, kantin ke arah sana 'kan?" ia menunjuk ke arah belakangku.
Kukulum bibirku seraya menelan ludah. Mulut bodoh! "Ah, iya," sahutku, perlahan kumiringkan badanku, berdiri bersisian dengan Hera, memperbaiki arah langkahku.
"Ngomong-ngomong, kamu udah mulai nulis proposalmu, Gi," katanya, sambil mulai melangkah maju.
Kusamakan langkahku, berjalan beriringan dengan Hera, "Tadi revisi judul lagi," jawabku dengan tetap melihat lurus ke depan, tanpa menatap Hera.
"Masih belum kelar urusan judul? Duh, sama!" ujar Hera, semangat karena punya orang yang senasib, tapi memasang wajah kesal karena judulnya belum jelas. "Tapi tahu nggak, si Prita udah nyusun sampe bab tiga masa'," tambahnya lagi.
Apa peduliku dengan Prita. Dia bahkan tidak pernah bicara denganku, mungkin aku tidak terlihat olehnya. "Oh, baguslah kalau begitu," kutanggapi dengan nada cukup antusias. Demi Hera.
"Iya 'kan? Kalo udah gini, bawaannya jadi cemas-cemas gitu nggak sih? Orang-orang didekat kita udah mulai nyusun, bahkan udah ada yang konsul proposal. Lah kita masih nyangkut dijudul," ujarnya lagi dengan sangat berapi-api. Hera sudah merasa aku senasib sepenanggungan dengannya, sampai ia bisa menumpahkan isi hatinya dengan leluasa. Aku bahkan jadi tidak tega mengakui bahwa sebenarnya judulku sudah fix dan sudah di-ACC oleh pembimbingku.
"Yanti dan Mini, mereka udah proses revisi bab dua sama tiga loh, Gi!" tambah Hera lagi. Ah, ternyata satu geng, cuma Hera yang ketinggalan. Apa karena itu dia tidak bersama kelompoknya sekarang ini?
"Disa?" tanyaku. Sebenarnya aku tidak begitu peduli, hanya memberikan tanggapan terbaikku untuk Hera. Dia sedang curhat tentang teman-teman se-gengnya, dan tinggal Disa saja yang belum dibahasnya.
"Dia nggak usah ditanya. Diam-diam nanti udah sebar undangan seminar proposal aja dia," wajah Hera tambah mengkerut mengingat teman-temannya.
Berarti intinya, teman gengnya meninggalkannya karena progres skripsiannya yang terbelakang, begitu 'kan? Dan kurasa, ini bisa menjadi sebuah kesempatan... "Yaudah, kita ke perpus aja, nyari inspirasi judul," ...untuk bisa menemani Hera dalam kesusahannya.
"Beneran, Gi? Kamu mau nemenin aku?" ujarnya dengan mata berbinar-binar, terang, cemerlang.
Aku mengangguk singkat. Sebaiknya mulutku bisa bungkam, dan menjaga kata-kata yang keluar. Jangan sampai aku mengakui bahwa proposalku sudah tidak mengenai judul lagi. setidaknya inilah kesempatanku untuk bisa membersamai Hera tanpa diberi tatapan tajam dari teman gengnya. Sekarang teman gengnya itu sudah 'lebih naik level', makanya Hera yang levelnya masih stagnan jadi ditinggal. Dasar tipikal manusia-manusia busuk! Hera yang manis, baik, dan ramah ini mereka perlakukan begitu. Harusnya mereka sadar, kalau mereka melepas Hera, sangat banyak orang yang mau berteman dengannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, menjadikan seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik menjadi hal yang kasat mata, terlihat. Sedangkan psikis tersimpan, hanya dapat dirasakan dengan perasa abstrak yang disebut kalbu...