Pengobatan Alternatif, Orang Pintar yang Tolol

23 18 4
                                    

"Kamu tuh ya, selalu ada aja. Bisa-bisanya teriak gitu, padahal ibu udah bilang emosi kami semakin stabil, eh, malah tiba-tiba jejeritan," ibu mulai mengomel. Kami sedang perjalanan pulang, menaiki taksi online yang tadi kupesan lewat aplikasi.

Aku melirik ke arah driver didepan. Mata kami bertemu di kaca spion tengah. Buru-buru dia kembali melihat ke jalan. Ibu apa-apaan, nanti saja dirumah dibicarakan. Sepertinya ibu driver ini merasa membawa orang gila, dan bisa saja dia menurunkan kami dijalan.

"Ibu padahal pengennya kamu tuh nggak banyak-banyak minum obat, biar nggak berat," sambung ibu. Jadi itu tujuannya.

"Lihat kulitmu, sudah menguning. Jangan-jangan obatnya sudah merusak hati dan ginjal kamu," ibu menarik lenganku mendekat ke pandanganku. Sepertinya warna kulitku tetap seperti ini saja, kuning apanya? Kalau kerusakan hati dan ginjal menguningkan gigi, nah itu baru ada.

"Ibu sendiri yang ngadu," jawabku setengah menggumam.

"Masalah kamu ngga minum obat? Ya iyalah, lagian kamu juga udah keburu teriak. Ya sudah sekalian mengaku saja," suara ibu membesar. Driver di depan sesekali melirik ke spion. Tenang bang, kami tidak sampai cakar-cakaran.

Aku menatap keluar jendela. Hari sudah gelap. Tanganku menggaruk-garuk jok mobil, tepat disebelah pahaku bertengger. Wanita ini memang selalu ribut, tanpa melihat kondisi. Dia sepertinya memang suka kalau aku dianggap gila.

***

Ketika itu, aku kelas 3 SMA, baru saja kenaikan kelas. Kalau sekarang Namanya kelas XII ya? Dua belas 'kan? Seharusnya, aku sudah bisa memutuskan kelanjutan pendidikanku, setidaknya begitu yang guru-guru katakan di kelas saat hari pertama menjadi kelas 3.

Aku biasa, baik-baik saja. Dokter Budi mengobatiku cukup baik. Dia pria tua yang baik, dan bisa kupercaya.

"Gi," seseorang memanggilku dari belakang. Aku menoleh, seorang perempuan langsing berpakaian putih dan rok abu-abu panjang.

"Kamu beneran gak pa-pa, duduk sendiri?" tanyanya. Ya, hari ini pemilihan bangku 'kan? Dan aku duduk dibangku depan, paling pinggir dekat pintu keluar. Dan aku sendiri.

"Gak pa-pa," jawabku memenggal kalimatnya. Ningsih, namanya Ningsih.

"Kalau mau, aku bisa temenin," katanya. Basa-basi, aku tidak perlu. Jelas tadi dia yang datang setelahku, langsung duduk dibangku tepat didepan papan tulis, bersama teman sejatinya, Fani, yang sudah duduk duluan disana. Aku lihat Fani langsung melambai semangat saat Ningsih baru berdiri didepan pintu masuk, lalu mereka berteriak kegirangan, saling berpelukan, berputar-putar, melompat-lompat kecil, dan seterusnya. Yang seperti itu, mau pindah ke bangku sampingku?

"Nggak masalah," sahutku. Ya, aku biasa sendiri. Sejak kelas 1 disekolah ini, aku tetap sendiri. Aku pernah duduk dibaris dua sendiri. Pernah duduk paling belakang sendiri. Dan kali ini, aku duduk didepan pun sendiri. Aku cukup yakin, mereka tidak mau sebangku denganku karena apa.

"Ya udah. Tapi kalo perlu apa-apa, jangan sungkan ya, Gi," ucap Ningsih sambil memegang lenganku. Aku hanya menatap tangan Ningsih yang menyentuhku, sambil mengangguk. Kulihat kakinya melangkah menjauh.

Tidak ada yang mau sebangku denganku. Mereka ketakutan. Aku tahu, mereka tidak menganggapku gila. Tapi mereka menganggapku sumber dari 'kerasukan massal' di hari pertama aku masuk ke sekolah ini. Padahal seingatku, kala itu kami upacara, dan aku kepanasan. Aku hanya berteriak kalau aku kepanasan. Sudah, itu saja. Tapi setelah itu, ada siswi yang juga teriak seperti menyahuti teriakanku, beberapa siswi lain yang tiba-tiba pingsan, ada yang menangis, entahlah. Tiba-tiba suasana kacau. Setelah itu Ares menghampiriku, dan menyuruhku duduk menepi, selagi guru-guru mengurusi yang 'kerasukan'.

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang