Perdukunan Modern II

16 15 3
                                    


"Gimana perasaannya, Magi?" Dokter Icha memulai percakapan basa-basi ini. Dihadapannya ada sebundel kertas, itu pasti catatan pengobatanku selama ini. Status? Ya, mereka bilang status.

Aku selalu bingung menjawab pertanyaan itu. Aku tidak senang, tapi tidak sedih juga. Aku tidak sesak, tidak lega juga. Perasaanku mengatakan aku biasa saja, masih seperti manusia. Dokter Icha memegang sebuah pulpen, putih, cantik. Sepertinya ada ukiran tulisan disisi sampingnya. Itu, nama dokter Icha? Pulpen itu familiar, setiap pertemuan dengan dokter Icha, pulpen itu juga menyapaku.

Kami terus berbincang, yang aku sendiri tidak begitu paham apa yang kami bicarakan. Semua seperti terjawab otomatis, seperti mengirim chat ke simsimi (permainan popular generasi milenial, chat bot, mungkin bisa dikatakan AI pertama?). Sesekali ia juga bicara pada ibu.

Saat di ruangan dokter Icha, aku selalu memperhatikan ke arah dinding dibelakang dokter Icha. Disana ada jendela, dengan tirai warna peach. Ada ketika tirainya terbuka lebar, dan ada kalanya tirai itu tertutup rapat. Kali ini, tirai itu bergerak terus, dengan sesekali tersingkap, menampakkan jendelanya yang terbuka lebar. Terlihat diluar sudah gelap, langit meninggalkan sedikit semburat jingga diantara warna hitam yang mulai mendominasi.

Terlihat sepasang tangan terjulur dari tirai yang tersingkap itu, mengarah ke tubuh dokter Icha. Lalu dengan cepat tangan itu menarik bagian leher belakang jas putih dokter Icha, menyeret wanita itu mendekati jendela. Kemudian tirai pun tersingkap seluruhnya, memperlihatkan seorang pria paruh baya berpakaian serba hitam, dengan ikat kepala hitam, dan kalung bermanik bahan kayu, seperti tasbih di leher biksu, tapi ukuran maniknya hampir sebesar bola pingpong. Ia menyeringai ke arahku.

"Ku bantu kau lepas dari wanita ini," katanya sambil mengaitkan lengannya ke leher dokter Icha. Aku sedikit meringis, mataku menyipit.

"Tidak perlu khawatir, dia memang perlu diajari. Dia tidak sopan dengan pendahulunya. Hanya karena dia punya ijazah, dia langsung berlagak pintar," pria itu sepertinya berniat menenangkanku.

"Memangnya pendahulunya siapa?" tanyaku pada pria aneh itu.

"Tentu saja aku!" jawabnya dengan sombong.

"Bapak siapa?" tanyaku lagi. Pendahulu? Ayahnya? Kakeknya? Tapi sepertinya tidak mirip dokter Icha.

"Aku dukun yang berjaya pada masanya!! Hahahaha!!" tangannya yang mengapit dokter Icha lepas, dia bicara sambil berkacak pinggang, dan tertawa hingga kedua bahunya berguncang.

Aku mengerutkan dahi. Kuingat, dia...

"AAAAAGGHHH!!" kututup kedua telingaku. Aku meringkuk, kusembunyikan wajahku diantara lutut. Aku tidak mau melihatnya, orang tua mesum itu. Orang gila, tidak waras!

Seseorang bawa dia pergi! Aku membencinya!

"Tenanglah, Magi," seseorang menyentuh puncak kepalaku. Itu suara dokter Icha.

Aku tidak mau melihat. Lelaki itu masih disitu, pasti. Aku jijik, benci. Dukun gila! Pendahulu apanya? Jelas dokter Icha belajar secara ilmiah, semua ada pertanggungjawaban ilmu. Lalu dukun itu? Hanya modal ludah dan nafsu birahi saja.

Dalam ringkukku, terdengar suara gaduh.

"Beraninya kau! Akh!" terdengar suara dukun itu, kemudian mengerang. Terdengar suara berdebum setelahnya.

Lalu hening, kemudian kepalaku disentuh lagi. "Sudah tidak ada yang perlu ditakutkan lagi, Magi cantik," itu suara dokter Icha, aku memberanikan diri mendongak. Terlihat wajah lembut dokter perempuan itu. Ia tersenyum, hijabnya yang berwarna biru langit dihiasi bercak-bercak merah tak beraturan, terarah ke lengan kanannya yang membelaiku.

"Dok," kugapai tangannya yang berada didekat kepalaku. Telapaknya kemerahan, seperti baru saja menggenggam kuat sesuatu. Juga lengan hingga sikunya berlumuran darah. Ia hanya tersenyum, menatapku hangat.

Kucari-cari dibelakangnya. Itu, lelaki berbaju hitam yang tertelungkup dikubangan darah itu, dukun tadi? Diatas meja dokter Icha tergeletak sebuah... belati? Ah, itu pulpen, warna putih, yang sedari tadi digunakan dokter Icha untuk menulis saat sesi konsulku. Sekarang pulpen itu merah pekat, dengan ceceran darah disekitarnya. Meja itu berantakan, dengan bercak-bercak merah dimana-mana.

"Bagaimana bisa?" tanyaku sambil menatap dokter Icha dan mayat itu bergantian.

Dokter Icha tersenyum, "Magi mau cerita?" seketika hijab dokter Icha menjadi bersih. Tidak ada noda kemerahan.

Aku melihat sekeliling ruangan. Ibu menatapku, antara kesal, cemas, dan bingung. Mataku mencari jasad dibelakang dokter Icha. Tidak ada. Yang terlihat hanya tirai berwarna peach yang bergerak pelan mengikuti hembusan AC di dinding sebelahnya. Jendela itu tidak terbuka, gerakannya karena AC didalam ruangan ini.

"Tidak apa-apa. Nanti kalau sudah siap, boleh cerita sama saya ya," dokter Icha menatapku lembut.

"Obatnya rajin diminum?" tanya dokter Icha lagi, sambil kembali ke kursinya disebalik meja. Meraih kembali pulpen putih yang tadinya tergeletak di meja, semua bersih, meja itu juga bersih.

"Saya rasa dia tidak meminumnya, dok." Jawab ibu. Ibu tahu?

"Obatmu mana?" begitu 'kan, ibu bertanya dikamar tadi.

"Sudah habis," ah, pasti karena itu. Harusnya belum habis ya? Dua kali minum lagi? Atau tiga kali? Entahlah, obat itu sudah didalam lemari pakaian, dan plastik biru itu... sudah kuisi pakan ikan hias.

"Seneng banget. Emang cantik gitu?" jadi ibu berkata begitu karena sudah tahu?

"Yang ini nanti rajin diminum ya, Magi cantik," dokter Icha selalu memanggilku begitu, seolah tahu, aku tidak percaya diri di bagian penampilan.

Aku mengangguk singkat. Aku memang sangat yakin, dokter Icha jauh lebih sakti dari dukun manapun. Apalagi dukun mesum itu, hanya orang tolol seperti ibu yang percaya padanya.

***

Reruntuhan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang