"Magi, dipanggil bu Rini," seseorang menghampiriku. Aku sedang dikantin, dan sedang membayar belanjaanku.
Aku menoleh, terlihat si ketua kelas, Robi.
"Di kantor ya, ruang guru," katanya sambil membuka kotak plastik berisi gorengan di meja jualan ibu kantin.
LOMBA ARTIKEL ILMIAH PELAJAR SMA itu pasti. Aku sedang tidak tertarik membebani pikiranku. "Kalo soal brosur itu, aku nggak tertarik," jawabku sambil mengambil kembalian uangku dari ibu kantin.
"Wah, kalo itu sampein sendiri. Aku juga nggak tahu, Cuma disuruh panggilin," Robi lepas tangan, dia mengunyah gorengan sambil mencari tempat duduk di dekatku berdiri.
Ku remas plastik belanjaan ditanganku. Aku menatap Robi cukup lama. Tapi dia tidak kunjung membalas tatapanku, sengaja. Sepertinya dia menganggap percakapan kami sudah selesai. Kulanjutkan langkahku ke kelas untuk meletakkan belanjaanku, lalu berjalan ke ruang guru, sesuai titah bu Rini yang budiman.
"Magi," bu Rini melambai memanggilku dari sebalik mejanya. Aku baru tiba, dan berdiri sejenak di ambang pintu sampai ia terlihat memanggilku.
Aku melangkah menghampirinya. Aku cukup yakin banyak guru lain disekitar, ada yang bekerja dimejanya masing-masing, ada yang sedang makan siang, ada yang sedang bergurau dengan guru lain. Ruangan guru ternyata juga sama seperti kelas, mereka sama seperti murid, hanya saja tidak ada yang menegur mereka kalau ada yang ribut, ada yang jalan-jalan ke meja temannya, ah, tapi memang ini 'kan ruang istirahat mereka, dan yang kubandingkan dengan ruang kelas yang sedang belajar.
"Sudah dilihat, brosurnya?" tanyanya begitu aku tiba didepan mejanya. Berantakan. Tumpukan buku catatan siswa dan lembaran-lembaran HVS memenuhi meja itu. Ah, itu 'kan buku catatanku yang kemaren kucari.
"Sudah, bu," jawabku. "Buku itu, kalo sudah ibu nilai, saya ambil kembali ya bu. Kemaren saya cari catatannya untuk belajar, nggak ketemu, ternyata dimeja ibu," aku menjangkau buku catatan itu.
Bu Rini membiarkanku mengambil catatan itu. "Sekalian bawain semua punya teman-temanmu yang lain," ujarnya. Kenapa jadi menyuruhku?
"Nanti saya panggilkan Robi. Dia ketua kelas kami bu," jawabku.
Sudut bibir bu Rini mulai tertarik sebelah. Apa ada yang salah? "Lalu bagaimana masalah lombanya? Kamu bisa 'kan?" suara bu Rini sedikit meninggi dibanding sebelumnya.
"Tidak bu. Saya tidak bisa," aku menolaknya, aku yakin aku cukup sopan. Suaraku pelan, intonasinya selembut yang kubisa, dan ekspresiku pun tidak melawannya.
"Kenapa kamu tidak bisa? Sayang sekali kalau kamu tidak ikut," ujar bu Rini lagi. Penolakan harus disertai dengan alasan ya?
"Saya tidak mau, tidak bersedia, bu," jawabku kemudian.
Urat-urat diwajahnya menegang. Dia marah? Tersinggung? Merajuk? Murka? Mungkin salah satunya. Atau mungkin juga semuanya sekaligus.
"Tidak bisa, kamu ceritakan alasan kamu menolak?" suara bu Rini membesar. Aku yakin semua guru di ruangan ini sejenak menoleh ke arah kami karenanya.
"Saya tidak ada alasan khusus bu. Lagi pula, kalau saya menerima tawaran ibu, apa ibu minta alasan juga untuk penerimaan saya?" dan untuk itu, berarti penolakan pun tidak perlu alasan.
Terlihat bu Rini mendengus keras, menunjukkan kekesalannya padaku. "Ya sudah, rugi sekali kamu. Kalau begitu panggilkan saya Ningsih, biar dia saja yang ikut kontes." Katanya. Dan terjadilah penjagalan bu Rini di alam khayalanku.
Mulai hari ini, aku membenci profesi bu Rini, dan mengharamkan profesi itu untuk kujalani. Harusnya memang seperti itu, seharusnya.
***
Baru saja aku masuk rumah, aku langsung disambut oleh seorang perempuan berusia 40-an dengan rambut berwarna merah, pakaian penuh manik-manik berkilau, dan tangan dipenuhi gelang emas. Dijemari tangan kiri ada tiga cincin emas, jemari tangan kana nada 2 cincin emas. Rambutnya disasak tinggi, setinggi harapannya tentang masa depanku. Dia tante Rina, kakak almarhum ayah kandungku.
"Nah, ini dia panjang umur," ujarnya girang, menandakan mereka baru saja membicarakanku.
"Udah nyampe Gi. Gimana sekolahnya?" sambut ibu. Tumben, nggak disuruh mencium emas, maksudku, mencium tangan tante Rina.
"Baik," jawabku, yang penting cepat selesai.
"Sini duduk dulu, Gi," tante Rina menepuk sofa disampingnya, mengisyaratkan aku harus duduk disitu.
Aku melangkah mendekat, lalu duduk ditempat yang disuruh duta emas. "Ada apa ya, tante?" aku meletakkan tas sekolahku dilantai.
"Tante denger, kamu sering melamun sampe kerasukan, ya?" tanyanya. Mata tante Rina, seperti menatapku rendah.
"Kapan?" tanyaku. Menurutnya aku kerasukan?
"Ah, nggak penting itu. Yang penting sekarang, tante mau ngasih kamu solusi," dipegangnya pahaku, berbicara sambil sesekali menepuk-nepuk pahaku itu. "Udah jelas kamu itu kemasukan setan, jin. Bukan gila. Kenapa ngotot banget bawain kamu ke dokter jiwa," sambungnya.
Aku menatapnya kosong. Begitukah pandangannya tentangku? Aku tidak gila, tapi kemasukan setan?
"Buktinya, udah sampe meninggal dokter jiwa yang nanganin kamu, tapi kami tetap gini-gini aja tuh. Nggak sembuh!" tante Rina memberikan vonis seenaknya. "Kamu itu, diganggu makhluk halus, makanya obat-obatan itu nggak mempan!"
"Aku nggak kerasukan, tante," aku menepis dugaannya. Jelas-jelas aku ingat segala kejadiannya. Aku dan kesadaranku berada disana, ditempat yang sama. Aku sering terdiam, melamun. Tapi aku tidak kesurupan.
"Kamu mana tahu. 'Kan kamu yang sakit, gimana sih!" tante Rina masa bodoh. Karena aku yang sakit lah aku tahu pasti, aku tidak kerasukan.
"Makanya, kebetulan tante ada rekomendasi orang pintar yang paling sakti, mantap, tokcer. Pokoknya dijamin segala setan yang mengganggu kamu langsung kabur balik ke alamnya!" jelasnya sambil mengibas-ngibas tangannya, disertai suara kerincingan logam-logam mulia di pergelangan tangannya itu.
Aku melihat ke arah ibu, dia hanya menunduk sambil sesekali mengusap kepala Saka yang duduk dipangkuannya. Sepertinya ibu sudah pasrah saja.
***
Obatku sudah habis. Hari ini, pagi tadi, itu obat terakhirku. Apa ibu tidak berinisiatif untuk menyambung saja obatnya? Beli di apotek saja? Ah, pasti tidak bisa, ya? Obat pasien psikiatri, tidak dijual bebas. Harus diresepkan, bahkan hanya oleh dokter jiwa, katanya.
Lalu aku bagaimana? Besok aku mulai minum ramuan dari dedaunan itu? Atau air putih yang sudah dicampur dengan liur 'orang pintar' itu?
"Anak ini dikuasai siluman harimau," ujar si dukun pada tante Rina. Saat ini kami sedang mengikuti saran tante Rina yang menurutku sangat tidak masuk akal. Sama tidak masuk akalnya dengan omongan 'orang pintar'-nya tante ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/379090371-288-k905935.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mystery / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, membentuk seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik, atau raga, menjadi hal yang kasat mata dan terlihat. Sedangkan psikis atau jiwa, ia tersimpan dan hanya dapat dirasakan dengan in...