"Kamu tidak menjawab saya, Magi? Sangat tidak sopan. Kamu harusnya tahu, kepintaran tidak akan menjadi apa-apa bila tidak ada sopan santun!" ucapan tambahan bu Rini itu, jelas meminta kata-kata penutup dariku.
"Maafkan saya bu," sahutku sambil menunduk. Seperti ini, benar 'kan, Bu?
"Makanya lain kali kamu harus memaknai perkataan orang yang lebih tua. Supaya kamu tahu namanya adab," kalimat bu Rini, jelas dia sudah merasa menang. Ya, dia masih hidup. Tidak benar-benar kutikam.
"Baik, bu. Saya permisi ke kelas dulu," ujarku sopan. Tidak apa-apa, aku cukup puas dengan mencabik-cabiknya di duniaku.
***
Aku berharap Tuhan melihatku. Apa yang ku lakukan. Apa yang mereka perbuat terhadapku. Aku berharap Tuhan bisa adil menilaiku, melihat aku sebagai aku, melihat aku dari sudut pandangku. Aku berharap Tuhan bisa setidaknya menanggapi kesusahanku.
***
"Apa yang terjadi disini??" wanita itu berteriak lagi, hari ini lebih keras dari biasanya.
Aku masih menyibukkan diri dengan pantulan wajahku di cermin. Aku merasa ini tidak buruk. Lalu mengapa harus sebegitu histeris?
"Magi! Cepat bersihkan kamarmu! Ini semakin mengerikan!" ia berseru sambil melihat sekelilingnya dengan tatapan rendah. Baiklah, dia ibuku.
Aku menatapnya kosong. "Keluarlah, bu. Aku bersihkan sekarang."
"Astaga! Apa lagi yang kau lakukan dengan rambutmu?!" ibuku menambahi kalimatnya saat melihat wajahku yang sudah menoleh ke arahnya.
"Apa? Ku potong, itu saja," ya, hanya itu saja.
Ibu menghela napas panjang, kesal, kurasa. Entahlah. Yang kemudian ia lakukan adalah mengumpulkan buku-bukuku yang berserakan di lantai, dan memberikan sapu ke tanganku. "Ya sudahlah, bereskan saja kamarmu." Katanya seraya terus memunguti barang-barang di sekitar kakinya.
Ya, baiklah. Lagi pula yang berserakan ini memang potongan rambutku.
Apa yang harus kukatakan? Aku Magi, 21 tahun, mahasiswi tahun akhir. Ini ibuku, ini kamarku, dan ini hidupku. Tidak ada yang hebat dari semua yang kumiliki, semua biasa, sebiasa aku dan wajahku. Apa peduliku. Selagi ini tidak menjadi lebih buruk, kurasa aku bisa menjalaninya seperti ini terus.
Aku tidak suka kamarku rapi. Aku tidak mencari alasan untuk tidak mengaku bahwa aku pemalas, aku benar-benar jujur. Aku suka kamarku yang terlihat penuh dan tak ada celah untuk orang lain masuk. Hanya saja, ibuku, tidak begitu mengerti aku dan memintaku bahkan memaksaku untuk membuat ruang lebih di kamarku, membuat kamarku terlihat lebih "sepi" dari yang aku mau. Aku sudah lelah berdebat dengannya, jadi kulakukan saja. Merapikan dan membuatnya berantakan lagi (tentunya setelah ibuku keluar) jauh lebih cepat dan praktis daripada aku harus menjelaskan terus mengenai apa yang kuinginkan terhadap ruangan pribadiku ini.
"Sore ini ibu temani kamu ke salon. Rambutmu benar-benar... ah, sudahlah. Pokoknya setelah ini, kamu ganti baju dan kita pergi," ujar ibu sambil berjalan keluar membawa piring kotorku yang sebelumnya ku tumpuk di bawah tempat tidur.
"Iya," tidak banyak pilihan jawaban yang kupunya. Lagi pula, aku masih harus menyusun kain-kain bersih yang sudah di setrika ibu dari dua hari yang lalu ke dalam lemari bajuku.
"Aduh bunda, rambutnya terpaksa kita potong pendek. Bagian tengahnya sudah sependek ini di potong. Terpaksa harus disamaratakan," kakak yang memotong rambutku mengomel di atas kepalaku. Apa yang dia harapkan? Aku merasa kepalaku bagian itu sangat panas, jadi aku perlu membuat bagian itu lebih dingin.
"Iya, rapikan saja sebisanya," ibu terlihat tegar. Ayolah, tidak perlu sedih begitu. Ini rambutku, bu, bukan rambut ibu.
"Tapi ini betul-betul sangat pendek. Untung tidak perlu dicepak," dan bla bla bla. Kakak ini benar-benar berisik. Mengapa dia begitu peduli dengan penampilan orang lain? Lagipula, kalau memang rambutku terlihat sejelek itu, aku bisa pakai topi, atau hijab sekalian, aku bisa jadi lebih modis, kan?
Aku menatap bayanganku di cermin. Sama saja, seperti wajahku dulu-dulu. Tangan si kakak cerewet sibuk memotong rambutku. Apa hebatnya? Tadi juga aku memegang gunting seperti itu, memotong dengan kemiringan seperti itu. Jadi, karena aku yang melakukannya, pandangan orang terhadap hasilnya jadi berbeda?
"Magi potong rambut lagi, tante?" suara laki-laki. Aku mencari sumber suara dari pantulan cermin. Itu, orang jelek, tetangga ribut, untuk apa dia disini?
"Hahaha, iya. Tadi dia potong rambut sendiri, jadinya miring-miring. Terpaksa dirapikan," ibu menanggapinya, tapi aku tidak melihat ekspresinya. Tidak ada pantulan wajah ibu di cermin.
"Ooo... Magi tuh, dimana-mana merepotkan, ya, tante? Hahaha," wajahnya dua kali lebih menyebalkan di cermin.
"Hahaha, di kampus memangnya semerepotkan apa, Res?" ibu, kenapa harus bertanya padanya?
"Eeehh!! Belum selesai!!" si kakak teriak, terlalu berlebihan. Aku hanya berdiri, menoleh ke arah ibu dan orang menyebalkan itu.
"Kamu, untuk apa ke salon wanita?" ya, untuk apa laki-laki ke salon wanita? "Cabul."
"Magi!" ibu menghampiriku, membalikkan badanku dan menekan bahuku hingga aku kembali menatap bayangan wajahku di cermin. Laki-laki cabul itu tertawa, dan masih melanjutkan tawanya saat aku sudah kembali duduk manis membiarkan kakak cerewet memangkas rambutku.
"Aku kerja sampingan di fotokopi sebelah. Ini mau tukar uang, pelangganku tidak ada uang kembalian," senyum lebar mengakhiri tawa panjangnya.
Terserah saja. Tapi sebaiknya kamu pergi sekarang, sebelum aku menyerangmu dengan semua peralatan pangkas yang ada di sampingku. Benar-benar, gunting-gunting ini bisa kulemparkan semuanya, ke arah kepalamu, dan aku bisa melihatnya terpancang di jidatmu, di bola matamu, dan meleset kemudian menggores daun telingamu. Ah, kurasa aku berlebihan. Aku tidak bisa melempar gunting sekuat itu sampai dapat menembus tengkorakmu. Atau kurasa aku bisa melemparnya ke arah lain, perut? Mungkin. Kalau ke perut, mungkin aku bisa menembus lapisan depan kulit perutmu. Tapi organ apa yang bisa ku rusak? Hanya hati atau usus, dan kamu tidak bisa mati spontan kalau hanya hati atau usus yang bocor. Atau kamu menderita karena patah hati yang sebenarnya? Hahaha, memikirkannya saja sudah cukup lucu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Reruntuhan Kenyataan
Mistero / ThrillerManusia, kesatuan antara fisik dan psikis. Mengharmoni, menjadikan seseorang menjadi satu kesatuan yang seimbang. Fisik menjadi hal yang kasat mata, terlihat. Sedangkan psikis tersimpan, hanya dapat dirasakan dengan perasa abstrak yang disebut kalbu...